Nalitari, sebuah komunitas berbasis tari inklusi yang berada di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Komunitas ini berdiri sejak 2013, dan sudah lebih dari 10 tahun berkarya melalui tari inklusi kontemporer.
Dilansir dari situs resmi Nalitari, komunitas ini berkembang melalui pola pikir "lintas batas", fokus utamanya ialah membangun lingkungan sosial yang bebas dari diskriminasi dan perbedaan sosial, memungkinkan orang dari semua tingkat status manusia untuk beriinteraksi dan menghidupi hobi yang sama sebagai satu komunitas tari inklusi.
Nalitari menanamkan pengalaman yang mendalam bagi audiens dan anggota melalui dedikasi mereka terhadap seni tari yang mengangkat inklusivitas. Semua orang, tak memandang latar belakang mereka, bergerak melalui seni kebersamaan, tanpa dibatasi oleh kondisi sosial dan harapan.
Melalui nilai inklusi yang diangkat dalam Nalitari, hal ini mampu mengubah cara pandang seseorang tentang bagaimana mereka melihat bahwa seni tari bisa menjadi penghubung setiap individu yang beranekaragam menjadi satu yang dibalut dalam komunitas.
Setelah ini, penulis akan melampirkan hasil wawancara pribadinya dengan salah satu anggota Nalitari bersama orang tuanya, untuk menceritakan pengalamannya selama berada di komunitas tari inklusi tersebut.
Nalitari sebagai Wadah Vincentius Duta untuk 'Menyempurnakan' Bakatnya
Dalam sesi wawancara pribadi bersama penulis, Vincentius Duta Bagas Anantya Putra, atau akrab dipanggil 'Duta', bersama Ayahnya (Agustinus Yuliharyanto 'Agus') berbicara tentang pengalaman kisah hidup Duta dan bagaimana Nalitari menjadi wadah untuk 'menyempurnakan' bakat tarinya.
Agus, selaku ayah dari Duta mengungkapkan bahwa beliau pertama kali mengetahui Nalitari ketika komunitas tari inklusi tersebut mengadakan eksebisi di sekolah dalam rangka mencari bakat-bakat tari yang terpendam dari kaum difabel.
Duta yang sedari awal mengikuti ekstrakulikuler tari didalam sekolahnya, kemudian mendapat tawaran dari Putri Raharjo, selaku co-founder dari Nalitari, untuk bergabung kedalam komunitas tari inklusinya.
"Saya merasa cocok dan suka dengan Nalitari, karena di sana tidak dibatasi mas. Semuanya boleh menari. Ada yang tuna rungu, ada yang tuna wicara, tuna netra juga ada, sama tuna daksa," tutur Agus (Ayah dari Duta) menjelaskan perihal pendapatnya mengenai Nalitari sebagai wadah untuk Duta 'menyempurnakan' bakatnya.
Beliau (Agus) juga menambahkan, bahwa bakat tari Duta sebenarnya sudah muncul ketika sebelum mengenal Nalitari. Namun, Nalitari hadir untuk 'menyempurnakan' bakat tari yang dimiliki oleh Duta. Agus juga bercerita bahwa Duta dulunya merupakan pribadi yang tetutup dan penakut.
"Dia dulu kalau didekatin orang, takut mas, pasti meluk ibunya. Sampai pada akhirnya saya mengajak dia ke sekolah, saya tali di bangku sekolah gitu mas. Dia berontak, tapi saya cuman bisa lihat dari jendela kelasnya, sampai dia bisa apa-apa sendiri, begitu mas," ucap Agus ketika menceritakan Duta semasa kecilnya.
Peran keluarga dan Nalitari sangat berarti bagi perjalanan hidup Duta, yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang percaya diri dan bangga akan bakat tarinya.
"Dia (Duta) di dalam Nalitari, bisa berkomunikasi dengan yang bisu, tuli, menggunakan bahasa isyarat mas. Jadi dia merasa benar-benar merangkul semuanya mas," tambah Agus (Ayah dari Duta) ketika menceritakan tentang pengalaman anaknya di Nalitari.
Berawal dari pribadi yang tertutup dan penakut, bersama keluarga dan Nalitari, kini Duta tumbuh menjadi individu yang percaya diri, pantang menyerah, dan bangga terhadap bakat tarinya. Hal ini kemudian yang membawanya pentas tari di mana-mana, bahkan hingga ke Kyoto, Jepang.
Sebagai komunitas tari inklusi, Nalitari sukses menjadi wadah bagi para individu untuk menyalurkan bakat tarinya, serta mampu mengubah 'kehidupan' seseorang melalui nilai inklusivitas yang diangkat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS