Kembalinya anime One Punch Man lewat musim ketiga yang sangat dinantikan justru menuai kekecewaan besar dari para penggemar. Setelah enam tahun menunggu, banyak yang merasa kualitas animasinya tak kunjung membaik sejak seri ini berpindah dari studio Madhouse ke J.C. Staff.
Kritik paling keras diarahkan pada adegan pertarungan yang dinilai terburu-buru, gerakan karakter yang kaku, hingga menurunnya intensitas dan humor khas yang menjadi daya tarik utama di musim pertama.
Sebelumnya, One Punch Man debut pada 2015 dengan animasi memukau dari Madhouse, dan sukses besar di kalangan kritikus maupun penonton.
Namun setelah studio tersebut mundur karena jadwal padat, J.C. Staff mengambil alih produksi musim kedua yang tayang pada 2019. Sejak saat itu, banyak penggemar menilai kualitas visualnya turun drastis.
Kini, meski musim ketiga telah tayang sejak 12 Oktober 2025, keluhan serupa kembali muncul. Adegan tertentu seperti “Garou slide” — momen saat karakter Garou meluncur di lereng, menjadi bahan olok-olok dan meme di media sosial karena tampak canggung dan tidak rapi.
Beberapa penggemar bahkan menjuluki serial ini sebagai “One Frame Man,” merujuk pada banyaknya adegan diam.
Kritik yang membludak memicu perdebatan besar di komunitas anime, di mana sebagian menuntut peningkatan kualitas produksi, sementara yang lain menyerukan empati terhadap para animator yang bekerja di bawah tekanan besar industri Jepang.
Animator One Piece Bela J. C Staff dan Industri Jepang

Di tengah badai kritik tersebut, animator terkenal One Piece dan Jujutsu Kaisen, Vincent Chansard, angkat bicara membela J.C. Staff.
Dalam siaran langsung di kanal YouTube KOL: Requiem, ia menjelaskan bahwa masalah pada One Punch Man tidak semata-mata salah studio.
“Aku pikir banyak orang menyalahkan J.C. Staff, tapi situasinya jauh lebih kompleks,” kata Chansard. “Kadang bukan salah studio animasinya, tapi pihak production committee yang berada di atas mereka.”
Ia menegaskan bahwa struktur produksi anime di Jepang sering kali melibatkan banyak pihak, mulai dari penerbit, sponsor, hingga distributor, yang semuanya punya kendali atas anggaran dan jadwal produksi.
Akibatnya, studio animasi hanya punya sedikit ruang untuk bereksperimen atau memperbaiki kualitas visual sesuai harapan fans.
Chansard menggambarkan J.C. Staff sebagai “studio yang berjuang untuk bertahan hidup.” Menurutnya, banyak animator Jepang bekerja di bawah tekanan ekstrem, tenggat waktu yang ketat, dan kompensasi yang rendah.
“Sekarang ini masa yang sangat sulit bagi mereka,” lanjutnya. Ia juga mengecam tindakan sebagian fans yang melecehkan animator di media sosial, menyebutnya sebagai sikap yang tidak adil terhadap para pekerja kreatif yang hanya berusaha melakukan yang terbaik dalam keterbatasan.
Komentar Chansard selaras dengan pernyataan sutradara One Punch Man Season 3, Shinpei Nagai, yang meminta fans untuk berhenti mengirim pesan kasar atau pertanyaan yang melanggar perjanjian kerahasiaan (NDA).
Baik Chansard maupun Nagai sama-sama menyoroti perlunya pemahaman publik terhadap realitas keras industri animasi Jepang — di mana semangat bertahan hidup sering kali lebih dominan daripada idealisme artistik.
Fans Gunakan AI untuk "Memperbaiki" Animasi, Picu Kontroversi Baru

Kekecewaan terhadap kualitas animasi rupanya melahirkan fenomena baru yang tak kalah kontroversial: penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk “memperbaiki” adegan-adegan One-Punch Man.
Beberapa pengguna media sosial, seperti @/koko_shishi_022 di X (Twitter), mengunggah klip hasil touch-up animasi menggunakan model AI OpenAI Sora. Hasilnya memperlihatkan gerakan wajah dan tubuh karakter yang lebih dinamis dibanding versi asli.
Meski tampak menarik di permukaan, langkah ini memicu perdebatan etis. Banyak yang menilai penggunaan AI tanpa izin bisa merugikan seniman dan melanggar hak cipta, karena model tersebut sering kali dilatih menggunakan karya yang dibuat oleh manusia tanpa kompensasi.
Beberapa penggemar menyebut hasilnya sebagai “AI slop” — istilah untuk karya digital tanpa jiwa dan karakter yang khas.
Sebaliknya, ada juga pihak yang melihat AI sebagai alat bantu potensial untuk memperhalus animasi dalam tahap pascaproduksi. Namun, para kritikus menilai ide ini berisiko membuka “kotak Pandora” bagi industri kreatif.
Jika tren ini meluas, maka keberadaan animator manusia bisa semakin terancam, dan kualitas artistik yang lahir dari ekspresi individu justru akan memudar.
Chansard sendiri menegaskan bahwa hasil animasi, baik bagus maupun buruk, tetap bergantung pada kerja keras manusia di balik layar. “Bahkan adegan yang diperbaiki AI tidak akan ada tanpa pekerjaan para seniman sebelumnya,” ujarnya.
Industri anime saat ini memang tengah berada di persimpangan sulit — antara tuntutan fans akan kesempurnaan visual, tekanan finansial dari komite produksi, dan kemunculan teknologi AI yang bisa mengguncang ekosistem kreatif.
One Punch Man Season 3 mungkin belum memenuhi ekspektasi semua pihak, tapi perdebatan yang muncul di sekitarnya justru menyoroti isu yang lebih besar: bagaimana menjaga keseimbangan antara teknologi, etika, dan kemanusiaan dalam seni animasi Jepang.