Polemik Penangkapan Direktur Lokataru Delpedro Marhaen, Aktivis Nilai Bentuk Kriminalisasi

Hayuning Ratri Hapsari | Siti Nuraida
Polemik Penangkapan Direktur Lokataru Delpedro Marhaen, Aktivis Nilai Bentuk Kriminalisasi
Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen (dok Lokataru Foundation)

Baca 10 detik
  • Polisi menetapkan Delpedro sebagai tersangka dugaan hasutan massa, sementara Lokataru dan jaringan aktivis menilai penangkapan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap suara kritis.
  • Kerusakan CCTV, penolakan pendampingan hukum, serta penjemputan paksa di rumah Delpedro memicu kritik soal transparansi aparat.
  • Tagar #BebaskanDelpedro trending di media sosial, memunculkan dukungan luas dari aktivis dan masyarakat sipil yang siap menggelar aksi solidaritas jika Delpedro tidak dibebaskan.

Penangkapan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, pada Senin malam (1/9/2025), menjadi salah satu isu paling hangat di Indonesia. Pria yang dikenal sebagai aktivis hukum dan pembela hak asasi manusia ini dijemput paksa polisi dan langsung ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan menghasut massa.

Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan: apakah ini murni penegakan hukum, atau justru bentuk kriminalisasi terhadap suara kritis? Jawaban atas pertanyaan itu masih terus diperdebatkan, baik di ranah publik, media sosial, hingga lingkaran aktivis.

Kronologi Penangkapan di Rumah Delpedro

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen (YT HARIS AZHAR)
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen (YT HARIS AZHAR)

Penangkapan dilakukan di kediaman Delpedro di kawasan Jakarta. Polisi datang malam hari dengan surat perintah penangkapan. Aparat beralasan Delpedro tidak kooperatif setelah dua kali mangkir dari panggilan penyidik.

Namun, ada detail yang menimbulkan sorotan. CCTV di sekitar rumah Delpedro sempat rusak diduga akibat aparat. Keluarga menilai tindakan itu mencederai transparansi hukum dan memperburuk kesan represif polisi.

Seorang kerabat menyebut, “Kami merasa ada pelanggaran hak, penangkapan dilakukan tanpa pendampingan hukum, bahkan CCTV rumah juga dirusak.”

Tuduhan Polisi: Dugaan Hasutan Massa

Polisi berdalih, penangkapan Delpedro Marhaen bukan tanpa dasar. Polda Metro Jaya, menegaskan bahwa penyelidikan terhadap dirinya sudah berjalan sejak 25 Agustus 2025. Aparat mengklaim memiliki bukti elektronik serta dokumen yang menunjukkan peran Delpedro dalam mendorong massa untuk melakukan tindakan anarkis.

Status tersangka langsung disematkan kepada Delpedro karena dugaan kuat ia melakukan provokasi terhadap massa dalam aksi-aksi unjuk rasa beberapa pekan terakhir.

Seorang juru bicara polisi mengatakan, “Ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk melawan aparat dengan cara tidak sah. Kami harus menegakkan hukum.” 

Respons Lokataru Foundation

Unggahan Lokataru Foundation (Instagram/lokataru_foundation)
Unggahan Lokataru Foundation (Instagram/lokataru_foundation)

Tidak lama setelah kabar penangkapan beredar, Lokataru Foundation mengeluarkan pernyataan resmi. Lembaga advokasi itu menuntut agar Delpedro segera dibebaskan.

Menurut mereka, tuduhan yang dialamatkan hanyalah dalih untuk membungkam kritik. “Penangkapan Direktur Lokataru adalah bentuk kriminalisasi terhadap aktivis yang memperjuangkan hak rakyat,” tulis pernyataan resmi.

Lokataru menegaskan bahwa semua kegiatan mereka selama ini sah dan berada dalam koridor demokrasi. Mereka menolak tuduhan sebagai provokator, dan menilai polisi sedang membangun narasi yang keliru.

Aktivis dan Jaringan Solidaritas Turut Mengecam

Kasus ini juga memantik reaksi dari kelompok aktivis lain. Jaringan “Gejayan Memanggil” yang berbasis di Yogyakarta menyatakan kecaman keras terhadap penangkapan Delpedro.

Mereka berpendapat bahwa langkah aparat menunjukkan pola lama: siapa pun yang kritis terhadap kebijakan pemerintah berisiko dikriminalisasi.

“Negara seolah lebih takut pada suara rakyat daripada pada korupsi atau pelanggaran hukum yang sebenarnya,” kata salah satu aktivis.

Penyelidikan Sebelum Penangkapan

Polisi sudah mulai menyelidiki aktivitas Delpedro sejak 25 Agustus. Sejumlah bukti elektronik seperti percakapan, rekaman, dan dokumen internal organisasi diklaim menjadi dasar penetapan tersangka.

Alasan polisi melakukan penjemputan paksa adalah karena dua kali surat panggilan resmi tidak dipenuhi. Aparat menyebut hal itu sebagai bentuk tidak kooperatif.

Publik Menyoroti Transparansi

Isu kerusakan CCTV dan proses penangkapan membuat publik semakin kritis. Keluarga merasa hak privasi mereka dilanggar. Mereka mempertanyakan mengapa aparat tidak mengizinkan pendampingan hukum saat penangkapan.

Komnas HAM mulai memantau kasus ini walau belum mengeluarkan pernyataan resmi. Kehadiran lembaga itu dianggap penting untuk memastikan penegakan hukum tidak melanggar prinsip hak asasi manusia.

Respons di Media Sosial: Tagar #BebaskanDelpedro

Tak butuh waktu lama, penangkapan Delpedro memicu gerakan di media sosial. Tagar #BebaskanDelpedro menjadi trending di platform X dan Instagram.

Sebagian besar warganet menilai penangkapan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara kritis. Namun, ada juga yang mendukung langkah polisi dengan alasan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Fenomena ini menunjukkan publik terbelah. Sebagian mendukung aktivisme Delpedro sebagai pembela rakyat, sementara sebagian lain khawatir advokasinya mengarah pada provokasi.

Rekam Jejak Delpedro dan Lokataru Foundation

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen (Linkedln)
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen (Linkedln)

Delpedro bukan sosok asing di dunia advokasi. Ia dikenal vokal memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM dan membantu masyarakat kecil yang mengalami kriminalisasi.

Lokataru Foundation sendiri, sejak awal berdirinya, sudah dikenal sebagai lembaga yang berfokus pada advokasi hukum dan demokrasi. Mereka sering bersuara dalam kasus agraria, kebebasan sipil, hingga penegakan hukum yang dinilai timpang.

Karena reputasi inilah, penangkapan Delpedro dipandang bukan sekadar kasus pidana, melainkan serangan terhadap ruang demokrasi di Indonesia.

Sikap Polisi: Proses Hukum Tetap Berjalan

Meski mendapat banyak kritik, polisi menegaskan tidak akan goyah. Polda Metro Jaya memastikan proses hukum tetap berjalan sesuai prosedur.

“Tidak ada yang kebal hukum. Siapa pun bisa diproses jika melanggar aturan, termasuk aktivis sekalipun,” ujar perwakilan kepolisian.

Polisi juga meminta publik menunggu proses pengadilan agar tidak terjadi spekulasi yang bisa menyesatkan.

Tuntutan dan Aksi Solidaritas

Di sisi lain, Lokataru dan jejaring masyarakat sipil menuntut pembebasan Delpedro tanpa syarat. Mereka menilai tuduhan hasutan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Sejumlah organisasi sudah bersiap menggelar aksi solidaritas di Jakarta dan Yogyakarta jika polisi tidak segera membebaskannya.

“Ini bukan hanya soal Delpedro, tetapi soal nasib demokrasi kita,” ujar salah satu aktivis Gejayan.

Kesimpulan: Penangkapan yang Membuka Perdebatan Demokrasi

Penangkapan Delpedro Marhaen membuka perdebatan besar di Indonesia. Polisi berpegang pada bukti dan tuduhan hasutan massa, sementara aktivis menilai ini bentuk kriminalisasi.

Kasus ini kini tidak hanya soal individu, melainkan juga menyangkut iklim kebebasan berekspresi di negeri ini. Apakah Delpedro akan bebas atau menghadapi proses hukum lebih lanjut, hal itu masih menunggu waktu.

Namun yang jelas, kasus ini kembali mengingatkan bahwa garis tipis antara kritik dan kriminalisasi selalu menjadi dilema di negara demokrasi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?