Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menjadi sorotan setelah mengeluarkan kebijakan baru terkait keterbukaan dokumen persyaratan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Aturan ini menegaskan bahwa sejumlah dokumen pribadi, termasuk ijazah pendidikan, tidak bisa dibuka untuk konsumsi publik tanpa izin tertulis dari pemilik dokumen.
Kebijakan tersebut termuat dalam aturan teknis pendaftaran capres-cawapres yang baru saja dirilis KPU. Keputusan ini langsung menuai pro dan kontra, sebab publik menilai keterbukaan dokumen sangat penting untuk menjamin integritas calon pemimpin bangsa.
Sementara itu, KPU berpegang pada prinsip perlindungan data pribadi, di mana ada batasan jelas terkait dokumen yang bisa diumumkan dan dokumen yang sifatnya rahasia.
Alasan KPU Tidak Membuka Ijazah
Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menegaskan KPU tidak bisa sembarangan membuka ijazah atau dokumen pribadi lainnya karena terikat aturan hukum. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur soal kerahasiaan data warga negara.
Idham menjelaskan, dokumen seperti ijazah, rekam medis, surat keterangan pajak, hingga catatan hukum termasuk kategori data sensitif. Jika dibuka tanpa izin, KPU justru berpotensi melanggar hukum dan bisa digugat oleh pemilik data.
Meski begitu, Idham menekankan bahwa KPU tetap melakukan verifikasi internal secara ketat terhadap seluruh dokumen yang diajukan capres dan cawapres. Dengan demikian, masyarakat tetap dijamin bahwa dokumen yang dilampirkan adalah asli dan sah.
Dokumen yang Masuk Daftar Rahasia
Berdasarkan penjelasan KPU, ada 16 jenis dokumen pribadi yang tidak bisa dibuka ke publik tanpa izin pemilik, antara lain:
- Ijazah pendidikan dari SD hingga jenjang terakhir.
- Daftar riwayat hidup.
- Rekam medis atau catatan kesehatan.
- Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
- Data keluarga.
- Nomor Induk Kependudukan (NIK).
- Nomor Kartu Keluarga (KK).
- Surat keterangan pajak tahunan.
- Dokumen harta kekayaan pribadi.
- Surat keterangan tidak dalam kondisi pailit.
- Surat keterangan tidak pernah dipidana.
- Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang.
- Surat keterangan tidak memiliki utang bermasalah.
- Keterangan dari pengadilan mengenai status hukum.
- Data biometrik.
- Dokumen pribadi lain yang bersifat rahasia.
KPU menilai daftar tersebut sudah sesuai dengan prinsip perlindungan data pribadi yang berlaku secara nasional maupun internasional.
Aturan Baru: Konteks Perlindungan Data
Aturan ini bukan sekadar inisiatif KPU, melainkan penyesuaian terhadap regulasi perlindungan data pribadi yang kini semakin ketat. KPU ingin menghindari penyalahgunaan data oleh pihak tidak bertanggung jawab, terutama di era digital di mana kebocoran data sering terjadi.
Namun, aturan ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana menjaga keseimbangan antara perlindungan privasi dan kebutuhan transparansi publik?
Respons DPR dan Kritik Keras
Dari Senayan, Komisi II DPR yang membidangi urusan pemilu langsung merespons kebijakan ini. Beberapa anggota DPR menilai KPU terlalu jauh dalam menutup akses publik terhadap dokumen capres-cawapres.
Anggota Komisi II DPR, Dede Yusuf, menyoroti aturan tersebut dengan nada sindiran. Ia membandingkan dengan masyarakat umum yang saat melamar kerja diwajibkan menyerahkan CV, ijazah, dan dokumen pendukung. Menurutnya, tidak masuk akal jika jabatan presiden—yang merupakan posisi tertinggi negara—justru boleh merahasiakan ijazah dari publik.
Komisi II berencana memanggil KPU untuk meminta klarifikasi resmi. DPR menegaskan bahwa transparansi tetap harus menjadi prinsip utama dalam penyelenggaraan pemilu.
Selain Dede Yusuf, beberapa anggota DPR lainnya juga menekankan bahwa rakyat berhak tahu rekam jejak akademik dan dokumen penting lainnya dari calon pemimpin mereka.
Kritik dari Pengamat dan Akademisi
Para pengamat politik menilai KPU seharusnya tidak menerapkan kebijakan hitam-putih. Sebagai alternatif, KPU bisa membuka ringkasan dokumen tanpa mencantumkan data sensitif seperti NIK atau alamat lengkap.
Akademisi hukum tata negara juga menyarankan agar verifikasi ijazah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan lembaga independen, bukan hanya KPU. Dengan begitu, kepercayaan publik bisa tetap terjaga tanpa melanggar privasi kandidat.
Pro dan Kontra di Kalangan Publik
Di media sosial, kebijakan ini langsung ramai diperbincangkan.
Kelompok pendukung aturan menilai KPU sudah tepat karena privasi setiap warga negara, termasuk capres-cawapres, harus dilindungi. Mereka khawatir jika dokumen pribadi dibuka ke publik, bisa terjadi penyalahgunaan data.
Kelompok penolak aturan beranggapan bahwa capres dan cawapres berbeda dengan warga biasa. Karena mereka akan memimpin negara, maka dokumen penting seperti ijazah harus bisa diakses publik agar rakyat yakin terhadap integritas kandidat.
Sejumlah netizen juga mengingatkan bahwa isu keaslian ijazah pernah menjadi polemik panas dalam pemilu sebelumnya. Dengan aturan baru ini, dikhawatirkan spekulasi liar akan semakin berkembang.
KPU: Verifikasi Sudah Cukup
Menanggapi kritik, KPU menegaskan bahwa verifikasi internal sudah lebih dari cukup untuk menjamin keabsahan dokumen capres-cawapres.
Menurut Idham Holik, publik tidak perlu khawatir karena proses verifikasi dilakukan secara detail, termasuk pengecekan ke instansi pendidikan terkait. Dengan mekanisme ini, KPU berusaha memastikan bahwa hanya kandidat dengan dokumen sah yang bisa maju dalam pemilu.
DPR: Transparansi Harus Ditingkatkan
Namun, DPR tetap bersikeras agar KPU meningkatkan transparansi. Beberapa anggota dewan menilai bahwa keterbukaan bukan hanya soal hukum, melainkan soal membangun kepercayaan publik.
Jika KPU menutup akses terhadap dokumen, masyarakat akan merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Hal ini justru bisa mengurangi legitimasi proses pemilu.
Penutup: Dilema Privasi vs Transparansi
Kontroversi terkait keterbukaan ijazah capres-cawapres ini menggambarkan dilema antara perlindungan privasi dan tuntutan transparansi publik.
Di satu sisi, KPU wajib melindungi data pribadi sesuai undang-undang. Namun di sisi lain, masyarakat dan DPR menuntut keterbukaan agar proses demokrasi berjalan jujur dan akuntabel.
Keputusan KPU untuk menutup akses terhadap 16 dokumen pribadi, termasuk ijazah, bisa menjadi ujian penting bagi integritas pemilu mendatang. Apakah publik akan mempercayai verifikasi internal KPU, atau justru menuntut keterbukaan yang lebih besar?
Jawaban atas dilema ini akan sangat menentukan kepercayaan rakyat terhadap proses demokrasi Indonesia.