Konflik berkepanjangan di Jalur Gaza selama dua tahun terakhir tidak hanya merenggut ribuan nyawa, tetapi juga meninggalkan luka mendalam pada lingkungan.
Dalam laporan terbarunya, Program Lingkungan PBB (UNEP) menyebut kerusakan tanah, cadangan air, hingga kawasan pesisir Gaza mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Laporan yang dirilis Selasa (23/9) itu menekankan, sebagian besar kerusakan hanya bisa pulih dalam jangka panjang, bahkan puluhan tahun. Peringatan ini datang bersamaan dengan temuan panel ahli independen yang menyatakan sebagian wilayah Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan.
“Mengakhiri penderitaan manusia yang telah melanda Gaza harus menjadi prioritas utama kami,” ujar Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP.

“Perbaikan sistem air bersih, pembersihan puing, serta pemulihan layanan dasar sangat mendesak untuk menyelamatkan nyawa. Pemulihan tanah dan vegetasi juga tak kalah penting agar masyarakat Gaza memiliki ketahanan pangan dan masa depan yang lebih baik.”
Laporan itu mengungkap kondisi yang mencemaskan: ketersediaan air bersih di Gaza sangat minim akibat infrastruktur limbah yang hancur. Akuifer utama tercemar, diperburuk oleh penggunaan tangki septik sebagai sarana sanitasi. Krisis ini memicu lonjakan kasus penyakit menular, termasuk diare akut hingga 36 kali lipat dan hepatitis A hingga 384 kali lipat.
Kerusakan juga melanda sektor pangan. Sejak 2023, Gaza kehilangan hampir seluruh vegetasi: 97 persen pohon, 95 persen semak, dan 82 persen tanaman semusim musnah. Situasi ini membuat produksi pangan mustahil dilakukan, meninggalkan lebih dari 500 ribu orang dalam kondisi kelaparan dan sekitar 1 juta lainnya dalam darurat pangan.
Reruntuhan akibat serangan mencapai 61 juta ton, dengan 15 persen di antaranya berpotensi mengandung material berbahaya seperti asbes dan logam berat. Infrastruktur pun luluh lantak: 78 persen dari 250 ribu unit bangunan hancur. Di sisi lain, tanah yang kehilangan struktur alaminya semakin rentan banjir, limpasan, dan sulit menyerap air.
Meski begitu, UNEP tidak berhenti pada gambaran kerusakan. Lembaga ini menyusun 30 rekomendasi berbasis sains untuk pemulihan, mulai dari rekonstruksi cepat jaringan air dan limbah, pemeriksaan kualitas tanah, pengelolaan dan daur ulang puing, hingga pembuangan amunisi secara aman. Semua ini hanya dapat berjalan melalui perencanaan yang inklusif dan kolaborasi internasional.
Laporan terbaru ini merupakan penilaian kedua UNEP sejak Oktober 2023, atas permintaan Pemerintah Palestina. Dibandingkan penilaian Juni 2024, kerusakan disebut meningkat drastis,jumlah puing bahkan melonjak 57 persen, hingga 20 kali lipat dari total reruntuhan akibat seluruh konflik sejak 2008.
"Situasinya semakin memburuk," kata Andersen. "Jika ini terus berlanjut, akan meninggalkan warisan kerusakan lingkungan yang dapat memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan penduduk Gaza dari generasi ke generasi."
Namun, rekomendasi UNEP memberi arah: bahwa pemulihan lingkungan bisa menjadi pintu masuk bagi pemulihan hidup masyarakat Gaza. Dengan dukungan dunia, kerja kolaboratif, dan sains sebagai fondasi, tanah yang rusak bisa kembali hidup, air bisa kembali mengalir, dan masyarakat Gaza bisa menatap masa depan dengan lebih layak.
Penulis: Muhamad Ryan Sabiti