Menyoroti geliat dunia perfilman di Yogyakarta, Institut Français d’Indonésie (IFI) Yogyakarta menggelar hari dedikasi terhadap dunia film pada Kamis (16/10/2025).
Kegiatan ini menjadi ajang pertemuan bagi komunitas film untuk saling bertukar gagasan, memberikan dukungan dan kesempatan pelatihan, sekaligus menyoroti potensi sinema Indonesia di kancah internasional.
Mengusung tema “Creative Crossroads: Bringing Film Communities Together,” IFI Yogyakarta menghadirkan sesi pemaparan singkat dari perwakilan beberapa festival film, antara lain Festival Kineidoscope dan CRAFT International Animation Festival.
Selain itu, kegiatan ini juga menampilkan pemutaran film pendek karya sutradara internasional yang tergabung dalam Fémis Summer University.
Peluang Film Indonesia di Pasar Internasional

Mantan Kepala Pemasaran di Pathé France, Pierre Emmanuel Barthe, turut hadir dan membagikan pandangannya mengenai mekanisme produksi film Prancis serta peluang film Indonesia menembus pasar dunia.
“Kemungkinannya sama seperti film Iran, Thailand, atau Korea. Dua puluh tahun lalu, belum banyak yang mengenal film Korea. Namun tiba-tiba, film seperti Parasite meraih penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes 2019 dan berhasil menarik perhatian penonton internasional,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki peluang yang sama besar untuk dikenal di pasar film dunia. Hanya saja, kebanyakan produser di Indonesia masih berfokus pada penonton lokal.
Mereka cenderung membuat film yang sesuai dengan selera masyarakat dalam negeri tanpa banyak mempertimbangkan bagaimana karya tersebut bisa diterima oleh penonton internasional.
Pierre juga menilai bahwa alur cerita seperti masalah keluarga atau situasi lokal tertentu, sering kali sulit dipahami oleh penonton luar negeri.
“Masalah keluarga di Indonesia atau situasi khas Indonesia mungkin sulit dipahami oleh penonton luar, misalnya penonton Amerika,” ujarnya.
Ia menekankan agar film Indonesia dapat diterima di pasar internasional, para pembuat film perlu mulai memikirkan cerita yang bersifat universal, yang mampu menarik perhatian penonton dunia.
Cerita dari Fémis Summer University dan Karya Anak Bangsa

Selain sesi diskusi, IFI Yogyakarta juga menayangkan 5 film pendek karya sutradara internasional sebagai bagian dari Fémis Summer University, termasuk salah satunya karya anak Indonesia, Riskya Duavania.
Riskya menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat 15 film hasil karya mahasiswa, tetapi hanya 5 film yang ditayangkan karena hanya lima peserta yang bersedia membuat subtitle dalam Bahasa Inggris.
“Itu sebenarnya filmnya semua berbahasa Prancis. Ada 15 film total dari 15 mahasiswa. Kenapa hanya 5 film, karena hanya mereka yang bersedia membuat subtitle ke Bahasa Inggris,” jelasnya.
Ia menuturkan, program summer university tersebut berlangsung selama dua bulan di musim panas. Selama mengikuti kegiatan itu, biaya pendidikan dan biaya hidup di-cover beasiswa, sehingga peserta hanya perlu membayar visa.
“Kita gak bayar apapun kecuali visa, bahkan asuransi pun sudah di-cover,” ungkapnya.
Namun, Riskya menegaskan bahwa tujuan utama program tersebut bukan sekadar membuat film yang bagus. Fokusnya adalah membangun kolaborasi antar peserta yang berasal dari berbagai negara.
“Tapi goal dari summer university ini sebenarnya bukan untuk bikin film yang bagus, tapi menekankan pada kolaborasi. Ada 15 partisipan dari berbagai negara, dan fokusnya adalah bekerja sama,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan beberapa tantangan selama mengikuti program, mulai dari transportasi, jarak penginapan yang tidak selalu dekat dengan kampus, hingga mencari subjek untuk film tugas akhir.
“Sulitnya itu soal transportasi dan adaptasi di awal. Penginapan gak selalu dekat kampus, jadi harus naik metro. Terus nyari subjek filmnya juga susah. Untung waktu itu saya ketemu Bu Farida, tapi teman-teman yang lain banyak yang kesulitan,” tambahnya.
Selain itu, bukan soal bahasa, tantangan terbesar menurutnya adalah dalam kolaborasi lintas budaya. Setiap peserta memiliki latar belakang dan cara kerja yang berbeda dalam membuat film. Hal ini menuntut kesabaran dan kemampuan untuk saling memahami.
“Ternyata yang paling sulit itu kolaborasinya. Kultur produksi pembuatan film tiap negara itu beda-beda. Ada yang belum pernah ngedit sama sekali, jadi kita harus sabar ngajarin mereka. Karena goal-nya memang kerja sama, bukan bikin film yang bagus,” jelas Riskya.
Melalui kegiatan ini, IFI Yogyakarta berhasil menunjukkan perannya sebagai wadah pertukaran gagasan dan inspirasi antar sineas dari berbagai latar belakang.
Baik melalui diskusi maupun program seperti Fémis Summer University, para peserta diajak untuk memahami bahwa film bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga tentang proses dan kerja sama lintas budaya.
Dengan semangat saling berbagi dan berkolaborasi, diharapkan film-film karya anak bangsa dapat semakin dikenal di panggung internasional.
Dari Yogyakarta, semangat itu tumbuh menjadi langkah awal menuju layar lebar yang tak hanya menghibur, tetapi juga menyatukan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS