Di tepi laut yang dulu hanya dihiasi deretan perahu kayu dan jaring-jaring jemur, kini berdiri deretan kafe kekinian dengan lampu neon dan musik elektronik. Kampung nelayan yang puluhan tahun menjadi denyut nadi kehidupan bahari kini terjepit di antara apartemen bertingkat dan mal-mal pesisir. Modernitas datang bagai ombak besar; membawa kemajuan sekaligus ancaman hilangnya identitas. Di sinilah cerita dari pesisir masih berbisik pelan, menolak tenggelam.
Kampung nelayan bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah ruang hidup yang menyimpan memori kolektif: bau ikan asin yang menempel di dinding rumah panggung, nyanyian doa selamat yang mengantar perahu berlayar sebelum fajar, serta tawa anak-anak yang mengejar ombak kecil sambil memanggil-manggil “Bapak pulang!”
Identitas itu terjalin dari benang-benang halus: bahasa daerah yang kental logat bahari, ritual sedekah laut, hingga pengetahuan turun-temurun membaca angin dan bintang. Namun, ketika anak muda lebih hafal aplikasi ojek daring ketimbang cara membaca angin musim barat, benang-benang itu mulai putus satu per satu.
Modernitas tidak selalu datang sebagai musuh. Itu juga membawa listrik 24 jam, akses pendidikan, dan peluang ekonomi baru. Tetapi ketika pembangunan lebih mengutamakan beton daripada budaya, kampung nelayan berubah menjadi “kawasan kumuh” yang harus “ditertibkan”.
Rumah-rumah panggung berganti ruko, masjid kecil di ujung dermaga digusur untuk perluasan pelabuhan wisata, dan anak-anak nelayan kini lebih sering memegang ponsel daripada dayung. Yang hilang bukan hanya bangunan, melainkan rasa memiliki terhadap laut sebagai ibu yang selama ini memberi makan.
Di tengah gelombang itu, muncul Suara Hijau; gerakan kecil tapi gigih yang lahir dari anak-anak kampung sendiri. Mereka bukan aktivis profesional dengan gelar panjang, melainkan putra-putri nelayan yang pulang kampung setelah merantau.
Ada Aisyah, sarjana seni yang mengajarkan anak-anak melukis perahu pinisi di dinding kampung. Ada Ilham, insinyur perikanan yang membangun bank sampah laut dan mengubah jaring rusak menjadi tas anyaman yang dijual ke kota. Ada pula Pak Muis, sesepuh kampung yang masih hafal puluhan pantun selamat melaut, kini mengajar anak-anak membaca alam lewat permainan tradisional.
Suara Hijau tidak menolak modernitas. Mereka justru memadukannya. Rumah baca dibangun dari bambu dengan atap ijuk, tapi di dalamnya ada Wi-Fi gratis dan rak buku tentang sejarah maritim Nusantara. Festival kampung nelayan digelar setiap tahun, mengundang wisatawan untuk merasakan sedekah laut, menarik jaring bersama, dan mendengar cerita dari pesisir langsung dari mulut para tetua. Hasilnya? Kampung yang dulu dianggap “kampung terbelakang” kini menjadi destinasi wisata budaya yang ramah lingkungan.
Revitalisasi bukan berarti mengembalikan kampung ke masa lalu. Itu adalah merajut ulang identitas dengan benang baru: kesadaran lingkungan, pemberdayaan perempuan pesisir, pendidikan anak, dan kemandirian ekonomi yang tetap berpijak pada nilai-nilai bahari.
Ketika seorang turis bertanya kepada nenek penjual ikan asin, “Kenapa Ibu tidak pindah ke kota saja, lebih mudah hidupnya?”, beliau menjawab sambil tersenyum, “Laut ini bukan cuma pekerjaan, Nak. Laut ini rumah jiwa kami.”
Cerita dari pesisir tidak boleh berakhir sebagai dongeng yang hanya diceritakan di museum. Ini harus hidup dalam tawa anak-anak yang kembali bermain gasing di tepi pantai, dalam nyanyian doa yang masih menggema saat perahu berangkat, dalam tangan-tangan muda yang kini menanam mangrove sambil mengunggahnya di media sosial dengan caption “Ini warisan kita”. Suara Hijau adalah bukti bahwa modernitas tidak harus membunuh identitas; ini bisa menjadi alat untuk memperkuatnya.
Di ufuk timur, matahari masih terbit seperti ribuan tahun lalu, menyinari perahu-perahu kecil yang tetap berani melaut. Di situlah letak harapan: bahwa kampung nelayan tidak akan pernah benar-benar tenggelam, selama masih ada yang mau merajut kembali identitasnya; satu jahitan demi satu jahitan, dengan cinta yang sama seperti leluhur mereka menjahit layar pinisi di masa silam.