Di banyak ruang kelas, lorong kampus, dan grup daring, kita sering menyaksikan seseorang menjadi target ejekan, komentar pedas, atau perlakuan tidak adil.
Teman-teman di sekitarnya melihat, sebagian tersenyum kaku, sebagian berpura-pura sibuk, sisanya hanya menunduk tanpa berbuat apa-apa. Tidak ada yang benar-benar mendorong, memukul, atau berteriak.
Tetapi tidak ada pula yang bersuara untuk menghentikannya. Dalam banyak kasus, bullying tidak tumbuh karena pelaku yang kuat, tetapi karena lingkungan yang diam dan membuat korban merasa sendirian dan pelaku merasa tindakannya bisa dibiarkan.
Fenomena inilah yang disebut sebagai silent bystander, saksi bisu yang keheningannya justru memberi ruang bagi kekerasan untuk terus terjadi.
Fenomena ini telah lama menjadi perhatian dalam psikologi sosial, terutama setelah penelitian klasik oleh John M. Darley dan Bibb Latané pada tahun 1968. Dalam eksperimen mereka, partisipan “menyaksikan” seseorang mengalami kondisi darurat yang mirip kejang.
Hasilnya ketika seseorang percaya bahwa ia adalah satu-satunya saksi, 85 persen segera melapor. Namun ketika ia merasa ada empat saksi lain, angka itu turun menjadi 31 persen. Menurut Darley dan Latané, kehadiran orang lain justru menurunkan dorongan individu untuk bertindak.
Mereka menyebutnya diffusion of responsibility, yaitu tanggung jawab yang tersebar sehingga tidak ada satu orang pun merasa wajib menolong. Para saksi bukan tidak peduli, tetapi terjebak dalam kebingungan, ketakutan, dan asumsi bahwa “pasti ada orang lain yang akan bertindak.”
Ketika Diam Dianggap Netral, Padahal Membahayakan
Dalam situasi bullying, banyak orang menganggap diam sebagai pilihan aman. Tidak ikut campur berarti tidak memperburuk keadaan, setidaknya begitu anggapannya. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Darley dan Latané, diam bukanlah tindakan netral.
Ketika saksi memilih untuk tidak bereaksi, pelaku melihatnya sebagai bentuk legitimasi karena tidak ada yang keberatan, tidak ada yang menentang.
Sementara itu, korban membaca diam sebagai bentuk penolakan sosial, seolah-olah tidak ada satu pun orang yang berpihak padanya. Dalam ruang sosial seperti sekolah atau kampus, persepsi ini dapat memperburuk trauma dan menumbuhkan rasa tidak aman yang lebih dalam.
Fenomena diam ini juga diperkuat oleh ketidakjelasan situasi. Banyak saksi tidak yakin apakah yang mereka lihat termasuk bullying atau sekadar bercanda. Keraguan ini membuat mereka menunda respons, berharap orang lain memberi reaksi terlebih dahulu.
Darley dan Latané menemukan bahwa sebagian besar peserta penelitian mereka tidak segera bertindak bukan karena tidak peduli, melainkan karena merasa bingung, takut salah langkah, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam konteks bullying, kebingungan yang berlarut-larut ini justru memperpanjang ruang pelaku untuk terus bertindak.
Mengapa Kita Lebih Takut Salah daripada Takut Korban Terluka
Salah satu alasan paling kuat mengapa seseorang memilih diam adalah ketakutan akan konsekuensi sosial. Darley dan Latané menemukan bahwa saksi sering khawatir dianggap berlebihan, memalukan, atau ikut campur dalam hal yang bukan urusannya.
Ketakutan ini mengalahkan dorongan moral untuk menolong. Dalam lingkungan remaja dan dewasa muda, di mana reputasi sosial sangat penting, risiko menjadi “berbeda” sering kali lebih menakutkan daripada melihat teman sendiri dirundung. Diam dianggap sebagai cara mempertahankan posisi aman dalam kelompok.
Selain itu, orang sering percaya bahwa intervensi mereka tidak diperlukan. “Pasti sudah ada yang membantu,” pikir mereka. Dalam eksperimen Darley dan Latané, kehadiran saksi lain membuat individu merasa tindakannya mungkin tidak relevan atau bahkan mengganggu. Dalam bullying, mekanisme ini membuat seseorang menahan diri, meski hatinya tahu bahwa korban membutuhkan suara sekecil apa pun yang membelanya.
Mengubah Diam Menjadi Keberanian Kecil
Kabar baiknya, penelitian ini juga mengajarkan bahwa manusia tidak pada dasarnya apatis. Darley dan Latané menemukan bahwa para partisipan yang tidak menolong sebenarnya mengalami konflik emosional yang kuat, yakni gelisah, takut, dan merasa bersalah.
Artinya, potensi untuk bertindak selalu ada. Kesadaran terhadap mekanisme psikologis inilah yang bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan ruang aman dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita memahami bahwa rasa ragu dan takut adalah normal, kita bisa belajar mengatasinya dan mulai mengambil tindakan kecil.
Intervensi tidak harus dramatis. Kadang, hanya perlu mendekati korban setelah kejadian, mengalihkan perhatian saat bullying terjadi, atau melaporkan lewat jalur yang aman dan anonim.
Tindakan kecil ini, jika dilakukan oleh lebih banyak orang, dapat menggeser norma sosial dari “diam adalah aman” menjadi “peduli adalah berani.” Safe space bukan lahir dari peraturan, tetapi dari keberanian kecil individu untuk tidak membiarkan kekerasan berlangsung tanpa suara.
Dalam banyak kasus, bullying bertahan bukan karena pelaku yang kuat, tetapi karena lingkungan yang diam. Silent bystander merupakan sisi yang jarang dibicarakan, padahal juga memegang kunci penting untuk memutus rantai perundungan.
Dengan memahami akar psikologis dari diamnya saksi, kita bisa membangun ruang yang benar-benar aman. Ruang di mana suara kecil seseorang cukup kuat untuk menghentikan kekerasan yang tidak terlihat. Ruang yang dimulai dari keberanian untuk tidak lagi menjadi saksi yang diam.
Referensi:
https://psycnet.apa.org/record/1968-08862-001