Ketika Komunitas Sekolah Marjinal Jadi Rumah Kedua Anak Marjinal Yogyakarta

Sekar Anindyah Lamase | Mira Fitdyati
Ketika Komunitas Sekolah Marjinal Jadi Rumah Kedua Anak Marjinal Yogyakarta
Potret Komunitas Sekolah Marjinal (Istimewa)

Di tengah hiruk-pikuk kota pelajar Yogyakarta, masih ada anak-anak yang belum sempat merasakan bangku sekolah. Di sekitar Selokan Mataram, berdiri rumah-rumah semi permanen dari kayu dan banner bekas, tempat para pendatang urban berjuang mempertahankan hidup.

Dari sanalah muncul inisiatif lima mahasiswa yang tergerak oleh kepedulian, melahirkan Komunitas Sekolah Marjinal (KSM), wadah pendidikan alternatif bagi mereka yang terpinggirkan oleh keadaan.

Berdiri sejak 10 November 2019 di daerah Kledokan, Caturtunggal, Depok, KSM hadir bukan hanya untuk mengajar. Namun, juga membuka jalan agar anak-anak kembali memiliki kesempatan bersekolah secara formal.

Di balik kesederhanaan bangunannya yang dulu hanya terbuat dari bambu dan triplek, tersimpan semangat besar untuk mengubah masa depan generasi muda yang nyaris kehilangan hak pendidikannya.

Awal Mula dan Perjalanan Komunitas

Potret Komunitas Sekolah Marjinal (Ist)
Potret Komunitas Sekolah Marjinal (Ist)

KSM diinisiasi oleh lima mahasiswa yaitu Agung, Ila, Atok, Ari, dan satu rekan lainnya. Latar belakang berdirinya komunitas ini berawal dari banyaknya pendatang urban di sekitar Selokan Mataram yang mengalami kesulitan ekonomi dan tidak memiliki identitas resmi. Kondisi tersebut membuat anak-anak mereka sulit diterima di sekolah formal.

“Pernah waktu itu sampai kita ke Dinas Sosial untuk mencarikan akta kelahiran untuk salah satu anak agar ia bisa sekolah,” tutur Shindy Ainun Uswatun Khasanah (22), selaku Program Manager Eksternal KSM pada Selasa (4/11/2025).

KSM mulai membuka pendaftaran anggota untuk Batch 1 dan mendapat sambutan luar biasa dengan lebih dari 200 pendaftar. Kini, komunitas ini memiliki sekitar 90-100 anggota aktif yang terdiri dari mahasiswa, anak muda, hingga masyarakat umum.

KSM mengadakan open recruitment setiap empat bulan sekali, melalui tahapan pendaftaran, seleksi administrasi, wawancara, hingga pembekalan. Masa kepengurusan anggota minimal delapan bulan, sedangkan untuk relawan mengajar selama empat bulan.

Muhammad Wahyudin Afrizqi (27), anggota Kajian Riset, menjelaskan bahwa kegiatan komunitas berlangsung secara rutin dengan berbagai format.

“Nah, jadi ada kegiatan yang rutinan harian, ada yang dua mingguan, ada yang beberapa bulan sekali. Harian seperti kegiatan mengajar, dua minggu sekali rapat koordinasi, bulanan pemeriksaan kesehatan, lalu kegiatan per-batch seperti pembekalan, outing class, dan kelas inspirasi,” ujarnya.

Program Kakak Asuh dan Puskesmas Jalanan

Potret Komunitas Sekolah Marjinal (Ist)
Potret Komunitas Sekolah Marjinal (Ist)

Salah satu program KSM adalah adanya Kakak Asuh, yang menjadi jembatan antara donatur dengan anak-anak marjinal. Program ini membantu menyediakan beasiswa bagi anak-anak yang ingin bersekolah formal, tapi memiliki keterbatasan ekonomi. Dana yang dikumpulkan setiap bulan digunakan untuk membayar SPP, membeli seragam, hingga alat tulis.

Kakak Asuh juga menjadi wadah bagi orang-orang yang ingin berkontribusi tetapi tidak dapat hadir secara fisik. Mereka menyalurkan dukungan dalam bentuk dana, yang kemudian diberikan langsung kepada anak-anak penerima manfaat.

Saat ini, terdapat lima anak dari tingkat TK hingga SD yang mendapatkan bantuan dari program ini. Selain pendidikan, Kakak Asuh juga membantu dalam pendampingan kesehatan, termasuk mengantar anak-anak ke fasilitas kesehatan.

Selain itu, KSM juga memiliki program Puskesmas Jalanan, yang sudah berjalan sejak tahun 2020. Awalnya, kegiatan ini berfokus pada pemeriksaan kesehatan balita, seperti pengukuran berat badan dan tinggi badan.

Seiring waktu, program ini menyesuaikan kebutuhan masyarakat sekitar, kadang berbentuk penyuluhan, kadang pemeriksaan umum. Dokter juga turut hadir secara bergilir di sekolah marjinal untuk memastikan kesehatan anak-anak dan warga sekitar tetap terpantau.

Sebagai komunitas berbasis kerelawanan, dinamika KSM tidak selalu stabil. Afrizqi menuturkan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah menjaga komitmen anggota di tengah kesibukan masing-masing.

“Kadang juga terjadi ketika teman-teman yang join ini kebanyakan sibuk, terutama yang di kepengurusan inti. Itu nanti dinamikanya juga terasa,” ujarnya.

Untuk mengatasi hal itu, KSM mulai menyusun dokumentasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) setiap program agar kegiatan bisa berjalan lebih tertata meskipun anggota berganti.

Harapan besar datang dari Faiz Hamdani (21), selaku Humas. Ia menilai komunitas ini adalah bentuk nyata dari pendidikan inklusif.

“Artinya, orang-orang yang menjadi aktor rentan di sini, yang mungkin tidak mendapatkan haknya secara penuh, bisa mendapatkan bantuan. Mungkin tidak besar, tapi cukup berarti bagi anak-anak yang membutuhkan,” ungkapnya.

Dani juga menambahkan bahwa keunikan KSM terletak pada jangkauannya yang luas. Tidak hanya satu wilayah, tetapi mencakup empat titik berbeda di Yogyakarta, Sekolah Marjinal di daerah Babarsari, Sekolah Harapan di daerah Trini, Sekolah Cinde di daerah Palagan, dan Sekolah Mentari di daerah Suryowijayan.

“KSM bisa secara luas menjaring anak-anak yang sekiranya kurang mendapatkan pendidikan dengan baik,” tambahnya.

Komunitas Sekolah Marjinal menjadi bukti bahwa pendidikan bisa hadir dimanapun dan oleh siapa pun. Perjalanan KSM bukan hanya tentang mengajar, tetapi tentang mengembalikan hak dasar manusia yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan.

Di tengah keterbatasan, mereka membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari niat dan langkah kecil.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak