Candaan sering kali dianggap sebagai bagian wajar dalam interaksi sosial. Namun, tanpa disadari, humor yang dilontarkan bisa berubah menjadi bentuk perundungan yang menyakiti perasaan orang lain.
Kesadaran inilah yang kembali diangkat Yoursay Talk melalui campaign anti-bullying bertajuk “Bullying Tidak Sama dengan Jokes”, yang disiarkan secara live di Instagram @yoursay.id pada Kamis (18/12/2025).
Campaign ini menegaskan bahwa tidak semua candaan bersifat aman, terutama ketika menyentuh ranah personal seseorang. Apa yang terasa biasa bagi sebagian orang, bisa meninggalkan luka emosional bagi korban.
Dalam campaign tersebut, Psikolog Klinis Rumah Sakit UNS, Ninda Alza Nur Zahrah, menjelaskan bahwa bullying merupakan perilaku yang dilakukan secara sengaja dan berulang dengan tujuan menyakiti, menghina, atau merendahkan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Dampaknya, korban dapat merasa malu, takut, dan kehilangan rasa aman.
Sementara itu, jokes pada dasarnya merupakan bentuk komunikasi yang bertujuan menciptakan tawa dan membangun keakraban. Namun, menurut Ninda, candaan juga bisa berkembang menjadi sarana bullying.
“Dulu kita mengenal bullying dalam bentuk kekerasan fisik. Namun seiring waktu, bullying juga mengalami perkembangan dan bisa disampaikan melalui candaan,” ujar Ninda.
“Sering kita dengar kalimat seperti, ‘cuma bercanda kok, jangan dianggap serius, jangan gampang baper’,” tambahnya.
Ninda mengungkapkan bahwa bullying jokes tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah. Bahkan, anak-anak kini mulai menggunakan candaan sebagai cara untuk menyamarkan tindakan bullying.
“Ketika ketahuan nge-bully, mereka bisa berdalih dengan mengatakan, ‘nggak tante, nggak bu, saya cuma bercanda saja’,” kata Ninda.
Menurutnya, penggunaan candaan sebagai kedok membuat bullying menjadi sulit dikenali. Akibatnya, korban sering kesulitan membela diri karena perundungan tersebut dianggap sebagai hal lucu oleh lingkungan sekitar.
“Bullying yang dibungkus candaan membuat korban bingung untuk melawan. Apalagi ketika orang-orang di sekitarnya tertawa,” kata Ninda.
Situasi ini berbahaya karena korban bisa meragukan perasaannya sendiri. Padahal, candaan tersebut terasa menyakitkan baginya.
“Korban akan bertanya-tanya, ‘benar nggak sih aku di-bully, kok orang lain menganggapnya lucu?’ Inilah yang membuat bullying jokes menjadi sangat tidak sehat,” ujar Ninda.
Melihat fenomena tersebut, Ninda menekankan pentingnya memahami batas antara candaan yang sehat dan candaan yang menyakitkan. Candaan sehat tidak menjadikan seseorang sebagai objek, serta tidak menyudutkan atau merendahkan individu tertentu.
“Kalau bercanda secara sehat, kita akan sangat minim mengaitkan candaan dengan personal seseorang,” ujar Ninda.
Ia mengingatkan bahwa setiap orang memiliki batasan yang berbeda. Seseorang mungkin terlihat baik-baik saja, tapi candaan yang menyentuh fisik atau kelemahan personal bisa melukai perasaannya.
Karena itu, Ninda menyarankan agar candaan diarahkan pada situasi atau peristiwa, bukan menjadikan individu sebagai objek humor. Candaan yang baik seharusnya menciptakan rasa aman, nyaman, dan mempererat hubungan, bukan sebaliknya.
Campaign “Bullying Tidak Sama dengan Jokes” menjadi pengingat bahwa tidak semua tawa berarti kebahagiaan bagi semua orang. Candaan yang sehat seharusnya membangun keakraban tanpa melukai.
Dengan lebih peka terhadap batasan orang lain, kita bisa menciptakan ruang sosial yang aman, saling menghargai, dan mencegah perundungan dalam bentuk apa pun.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS