Populasi hiu dan pari di Indonesia saat ini terus-menerus mengalami penurunan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan bahwa tekanan penangkapan berlebihan, perubahan iklim, kerusakan habitat, dan tingginya permintaan konsumsi masyarakat urban menjadi faktor terbesar menurunnya spesies ikan bertulang rawan dalam dua dekade terakhir.
Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan (PRZT) BRIN, Andhika Prima Prasetyo, menyampaikan bahwa status kerentanan populasi hiu dan pari secara global kian meningkat. Mirisnya, salah satu spesies dari Indonesia, yaitu pari jawa, telah dinyatakan punah.
Andhika menjelaskan bahwa hiu, pari, skate, dan chimera termasuk dalam kelompok Chondrichthyes, yaitu spesies ikan bertulang rawan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Menurut Andhika, Indonesia merupakan salah satu negara dengan volume perdagangan hiu dan pari terbesar di dunia. Sejak tahun 2000, penangkapan hiu memang cenderung menurun, sementara penangkapan pari terus mengalami peningkatan. Produksi sirip hiu saat ini lebih banyak diekspor ke Hong Kong, sedangkan daging pari lebih banyak diekspor ke Malaysia.
Pemanfaatan hiu dan pari juga tidak hanya terbatas pada sirip atau dagingnya untuk dikonsumsi. Kulit mereka kerap diolah menjadi dompet, sarung pedang, hingga sepatu.
Meski pemerintah telah melakukan pengelolaan perikanan, perluasan kawasan konservasi, serta peningkatan edukasi publik, upaya pembatasan perdagangan masih menghadapi banyak kendala.
Lebih jauh lagi, Andhika menjelaskan bahwa pengelolaan dan konservasi hiu dan pari di zaman sekarang harus mengandalkan pendekatan genetik, terutama untuk identifikasi spesies.
Namun, sayangnya, pengembangan genetika hiu dan pari di Indonesia masih menghadapi hambatan: tingginya biaya reagen, keterbatasan akses terhadap mesin sekuensing, kebutuhan teknik uji yang cepat dan terjangkau, hingga volume sampel yang besar menjadi tantangan tersendiri bagi proses pengujian.
Meski begitu, ada berbagai metode lain yang digunakan untuk ketertelusuran perdagangan, seperti barcoding konvensional, mini barcoding, PCR-RFLP, real-time PCR, LAMP genetic, Lab-on-chip, hingga DNA metabarcoding yang mampu mendeteksi jejak perdagangan melalui shark-dust.
Sementara itu, Kepala PRZT BRIN, Delicia Yulita Rachman, berharap Indonesia bisa memperkuat kemampuan identifikasi spesies dan mendukung penegakan hukum dari eksploitasi berlebih satwa liar, khususnya hiu dan pari.
(Muhamad Ryan Sabiti)