Lebih dari Sekadar Kenakalan Remaja: Membedah Akar Psikologis Kekerasan Anak

M. Reza Sulaiman | Trico Wiji
Lebih dari Sekadar Kenakalan Remaja: Membedah Akar Psikologis Kekerasan Anak
Ilustrasi perundungan atau bullying, kekerasan anak. (Elements Envato)

Pada Rabu, 12 November 2025, sebuah rekaman peristiwa kekerasan anak di Purworejo menarik perhatian masyarakat luas. Tayangan tersebut memperlihatkan seorang siswa sekolah dasar memukul siswa sekolah menengah pertama di sebuah balai desa, di hadapan banyak orang.

Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan karena melibatkan anak-anak yang masih berada dalam fase perkembangan emosi dan kepribadian yang rentan.

Lebih dari sekadar insiden spontan, kejadian ini mencerminkan persoalan serius dalam dinamika sosial remaja awal. Agresi lintas jenjang sekolah dapat muncul akibat tekanan teman sebaya, kebutuhan akan pengakuan, serta ketidakmampuan mengelola emosi secara sehat.

Kondisi ini tidak hanya berisiko menimbulkan trauma psikologis pada korban, tetapi juga membuka peluang bagi pelaku untuk mengulangi perilaku agresif jika tidak mendapatkan pendampingan yang tepat.

Akar Masalah: Krisis Identitas dan Tekanan Sosial di Usia Rentan

Usia pelaku yang berada pada rentang 13–14 tahun menunjukkan bahwa tindakan tersebut terjadi pada fase perkembangan identitas yang krusial. Pada tahap ini, remaja cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan dan sangat sensitif terhadap penilaian orang lain.

Berdasarkan teori psikologi perkembangan, remaja pada usia ini masih membentuk citra diri yang sangat dipengaruhi oleh "cermin sosial" atau pandangan teman sebayanya. Ketika mereka merasa harga diri atau status sosialnya terancam, reaksi defensif hingga agresif lebih mudah muncul.

Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan tekanan kelompok (peer pressure) juga kerap mendorong perilaku menyimpang seperti dominasi dan kekerasan.

Dalam konteks kasus ini, tindakan memaksa korban untuk direkam dapat dipahami sebagai upaya pelaku untuk mempertahankan harga diri sekaligus mencari validasi sosial dari lingkungannya.

Dampak Jangka Panjang: Luka bagi Korban, Normalisasi bagi Pelaku

Dampak dari peristiwa kekerasan seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Bagi korban, dampak jangka pendek meliputi rasa takut, malu, dan gangguan konsentrasi.

Jika tidak ditangani, hal ini bisa berkembang menjadi masalah jangka panjang seperti penurunan rasa percaya diri dan penarikan diri dari lingkungan sosial.

Di sisi lain, pelaku berisiko menginternalisasi kekerasan sebagai perilaku yang dianggap wajar dan efektif untuk memperoleh pengakuan. Tanpa intervensi yang tepat, ada kemungkinan besar tindakan agresif ini akan terulang di masa mendatang.

Jalan Keluar: Solusi Komprehensif Berbasis Pemulihan

Menangani kasus kekerasan antaranak tidak cukup hanya dengan hukuman. Diperlukan solusi yang menyeluruh dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai pihak:

Sisi Hukum: Proses penyelidikan tetap harus berjalan untuk memberikan efek jera, namun perlu mempertimbangkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) mengingat pelaku masih berusia anak.

Dukungan Psikologis: Pelaku memerlukan pendampingan untuk membantu mengendalikan emosi dan memperbaiki konsep diri, sementara korban membutuhkan dukungan psikologis untuk memulihkan rasa aman dan kepercayaan dirinya.

Peran Sekolah: Sekolah memiliki peran vital melalui layanan bimbingan dan konseling (BK), mediasi yang adil, serta penguatan pendidikan karakter dan pengelolaan emosi dalam kegiatan pembelajaran.

Keterlibatan Keluarga dan Masyarakat: Pola asuh yang suportif dan lingkungan sosial yang aman menjadi fondasi utama untuk mencegah terulangnya kekerasan.

Dengan kolaborasi antara aparat hukum, sekolah, keluarga, dan masyarakat, penanganan kasus ini diharapkan tidak hanya menyelesaikan masalah sesaat, tetapi juga mencegah terjadinya kekerasan serupa di masa depan.

Kesimpulan: Cerminan Perkembangan Sosial yang Belum Matang

Kasus kekerasan di Purworejo ini menegaskan pentingnya pendidikan karakter, komunikasi yang sehat, serta peran aktif guru dan orang tua dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman.

Meskipun aparat kepolisian menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan termasuk perundungan, kejadian ini tetap mencerminkan adanya persoalan perkembangan sosial-emosional yang belum sepenuhnya matang.

Penguatan regulasi emosi, pendampingan psikologis, dan keterlibatan aktif semua pihak menjadi langkah krusial untuk memastikan perkembangan sosial-emosional remaja dapat berjalan lebih sehat dan mengarah pada perilaku yang bertanggung jawab.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak