Manusia merupakan makhluk hidup penghasil sampah terbesar di bumi. Dari sampah dapur sampai sampah radiokatif, dari pembuangan di dasar laut hingga ke luar angkasa (sisa-sisa satelit atau roket) yang terlalu mahal dibawa pulang ke bumi.
Tidak bisa dinafikan bahwa sampah adalah sesuatu yang melekat, tidak dapat dilepaskan dari hidup manusia. Di mana ada manusia, di situ ada sampah. Sampah boleh dikatakan merupakan konsekuensi hidup, karena setiap aktivitas manusia pasti menghasilkan sampah.
Bila dibandingkan dengan manusia, makhluk hidup lainnya yaitu hewan dan tumbuhan dalam pemenuhan kebutuhan hidup tidak pernah mengambil dari alam daripada yang bisa mereka gunakan.
Sebaliknya manusia dalam kapasitasnya mengerjakan lebih banyak di luar pemenuhan kebutuhan hidupnya, berpotensi mengambil lebih banyak daripada yang sesungguhnya mereka perlukan sambil membuang sebagian besar dari yang mereka ambil itu dan menjadikannya sampah.
Kebanyakan sampah lahir dari ketidakmampuan manusia untuk mengatakan 'cukup' terhadap kebutuhannya. Dengan kata lain sampah di sekitar kita banyak yang tercipta dari gaya hidup manusia yang melampaui kebutuhannya.
Semakin maju peradaban manusia semakin banyak bermunculan kebutuhan yang dirasakaan (keinginan) sehingga semakin banyak pula sampah yang dihasilkannya.
Secara umum,sampah berasal dari alam (sampah tanaman) dan aktivitas manusia (sisa makanan, plastik,kertas dan kardus, besi dan aluminium, karet, kaca, pakaian).
Sampah yang berasal dari aktivitas manusia akan menjadi masalah jika diikuti oleh perilaku mengelola sembarangan. Sampah yang tidak dikelola mencemari lingkungan, menimbulkan penyakit, banjir, kotor, dan merusak ekosistem.
Kita ingat tragedi di TPA Leuwigajah yang terjadi pada 2005 lalu. Bencana longsoran sampah di TPA Leuwigajah merenggut 157 korban dan menghapus dua desa dari peta.
Tidak hanya di Indonesia, tragedi serupa juga pernah terjadi di TPA-TPA negara lain seperti Filipina, Ethiopia, Sri Lanka, dan Mozambik.
Tragedi ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang tidak tepat menjadi bom waktu yang mengancam kelangsungan lingkungan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Belakangan ini, kebakaran tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah sedang marak di seluruh Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada 35 TPA di seluruh Indonesia kebakaran sepanjang 2023.
Kebakaran pada puluhan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah ini juga menunjukkan pengelolaan sampah yang belum maksimal.
Sebagai negara berkembang pengelolaan sampah di Indonesia selama ini dilakukan masih bersifat tradisional dan kurang ramah lingkungan. Sampah perkotaan umumnya dibuang di dalam suatu wadah tanpa ada proses pengurangan dan pemisahan terlebih dulu.
Begitupun masyarakat pedesaan umumnya penanganan sampah dilakukan dengan cara yang kurang ramah lingkungan, misalnya pembakaran sampah, yang berpotensi menimbulkan zat-zat beracun ke dalam udara.
Kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama dan praktiknya masih ada sampai hari ini, sehingga hidup nyaman di lingkungan bebas sampah hanyalah impian setiap orang.
Ubah gaya hidup
Sampah menjadi salah satu dari masalah utama dari kerusakan lingkungan di bumi. Oleh karena itu, saatnya kita bersegera mengubah gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan dengan menjalankan gaya hidup minim sampah (less waste lifestyle).
Pada prinsipnya less waste bertujuan untuk mengurangi sampah yang kita hasilkan setiap hari. Gaya hidup minim sampah dalam praktik keseharian seperti habiskan makanan tanpa sisa, bawa bekal makanan dari rumah, kurangi penggunaan produk yang menggunakan plastik, membawa tumbler atau botol air minum dan tas belanja sendiri, menggunakan sapu tangan, menggunakan kertas daur ulang dan lebih sedikit mengonsumsi pakaian untuk mengurangi sampah tekstil.
Kita telah mendengar beragam komunitas dan instansi pemerintah yang melakukan penanganan sampah seperti bersih-bersih kota, pantai, sungai, hingga ke gunung. Kegiatan bersih sampah di beberapa kawasan tersebut merupakan inisiatif yang baik.
Namun penanganan sampah seperti aksi bersih-bersih yang dilakukan oleh komunitas peduli sampah dan lingkungan tidak menyelesaikan akar permasalahan sampah di Indonesia.
Perlu ada tindakan pencegahan, terutama di kalangan masyarakat yang juga sekaligus konsumen dari barang dan jasa yang berpotensi menjadi penghasil sampah. Upaya pencegahan di tingkat konsumen bisa jadi langkah awal untuk mengurangi timbulan sampah secara signifikan.
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Adagium ini mungkin memang tepat bagi kita untuk dijadikan pedoman dalam pengelolaan sampah. Sampah-sampah yang menjadi masalah lingkungan selama ini lebih banyak ‘diobati’ melalui bank sampah, ecobrick, hingga aksi bersih-bersih.
Namun langkah mencegah timbulan sampah bisa diminimalisasi belum masif. Secara berangsur dan perlahan kampanye minimalisasi sampah mulai dapat diterima oleh anak muda dan masyarakat kota.
Konsep less waste yang mulai diterima di kalangan anak muda beberapa tahun belakangan sebetulnya bukan hal yang baru-baru amat. Less waste adalah praktik yang kerap dilakukan sejak dulu.
Misalnya, membungkus makanan dengan daun pisang dan jati, membuat minuman seperti teh dan kopi dalam teko dan disediakan pula gelas kecil kaca, bukan air mineral kemasan.
Kemajuan zaman kita akui membawa dampak baik sekaligus buruk. Keinginan untuk tidak mau repot-repot seperti mencuci wadah makanan dan minuman membuat penggunaan produk plastik meningkat drastis yang berujung menjadi sampah.
Kembali pada kearifan lokal bukanlah sebuah kemunduran. Hal tersebut justru langkah maju untuk turut membuat lingkungan bebas sampah .
Gaya hidup less waste tidak hanya bermanfaat untuk lingkungan hidup, tetapi juga dapat menghemat pengeluaran. Gaya hidup less waste mendorong efisiensi anggaran melalui pengurangan konsumsi.
Sebagai contoh, kebiasaan membawa tumbler dapat mengurangi pembelian air minum dalam kemasan. Alokasi untuk membeli air minum dalam kemasan harian dapat ditabung atau kebutuhan lain. Singkatnya, gaya hidup less waste ramah lingkungan dan ramah kantong. Maka saatnya kita go for less waste!
Salam bumi, pasti lestari.
Penulis adalah praktisi ekopedagogi (pendidikan lingkungan kritis) dan pendiri Bank Sampah Mengajar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS