Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah meningkat pesat sejak dimulainya revolusi industri pada periode 1760-1850. Hingga saat ini, emisi masih terus berlanjut dan memberikan dampak yang serius terhadap perubahan iklim. Untuk mengatasi hal tersebut, upaya untuk mengurangi emisi semakin gencar dilakukan seiring meningkatnya kesadaran dunia atas krisis yang ditimbulkan.
Salah satu upaya untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu konsep carbon footprint atau jejak karbon. Pada tahun 2005, sebuah perusahaan minyak raksasa, British Petroleum (BP), mempopulerkan ide jejak karbon untuk individual. Perusahaan ini menginstruksikan masyarakat untuk menghitung jejak karbon per individu dan memberi solusi untuk menguranginya. Lantas, apakah mengurangi jejak karbon individu saja cukup untuk menghentikan perubahan iklim?
Pengertian Jejak Karbon
Jejak karbon merupakan total emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer, meliputi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan hidrofluorokarbon (HFCs), yang direpresentasikan sebagai total CO2 yang dilepaskan (Hamzi, 2023). Jejak karbon dihasilkan melalui aktivitas manusia, baik secara individu, organisasi, maupun dalam suatu proses produksi. Jejak karbon seorang individu dapat dihitung melalui emisi yang disebabkan karena transportasi, aktivitas rumah tangga, pakaian, dan makanan.
Pada masa kini, kalkulator jejak karbon telah banyak beredar di internet. Hasil perhitungan jejak karbon akan berbeda pada setiap web karena menggunakan metode yang berbeda pula dalam perhitungannya. Namun, kalkulator tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memberitahu jumlah karbon yang harus dikurangi.
Terdapat beberapa manfaat dengan menghitung jejak karbon, di antaranya:
1. Membantu memahami sumber emisi utama dalam aktivitas kita
2. Memahami tantangan untuk mengurangi jumlah emisi
3. Membantu mengambil keputusan yang bertanggung jawab
Dampak Jejak Karbon
Menurut Zero Waste Indonesia, jejak karbon yang lepas ke atmosfer dapat menimbulkan masalah lingkungan, seperti:
1. Cuaca ekstrem dan bencana alam
Emisi GRK yang tergambar dalam jejak karbon telah menyebabkan kenaikan suhu rata-rata global. Kenaikan terparah terjadi pada periode 2023-2024 yaitu sebesar 1,5°C (dibandingkan masa praindustrial). Kenaikan suhu menyebabkan perubahan iklim seperti badai tropis (siklon), banjir, dan kekeringan.
2. Perubahan produksi rantai makanan
Perubahan iklim akibat emisi GRK juga menyebabkan gagal panen di berbagai tempat. Hal ini berimbas pada kekurangan bahan pangan, baik dari sumber nabati maupun hewani.
3. Penyebaran penyakit
Jejak karbon dari polusi menyebabkan berbagai masalah pernapasan. Selain itu, pergeseran iklim tropis ke wilayah subtropis juga dapat berkontribusi terhadap penyebaran penyakit menular seperti malaria.
4. Rusaknya ekosistem laut
Tingkat keasaman air laut meningkat akibat menyerap jejak karbon di udara. Hal ini menyebabkan kematian makhluk hidup laut seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan.
5. Mencairnya es di kutub
Mencairnya es di kutub akibat peningkatan suhu global menyebabkan naiknya volume air laut. Hal ini berdampak terhadap tenggelamnya wilayah pantai.
6. Berkurangnya air bersih
Pemanasan global menyebabkan sumber air tanah menguap sehingga mengalami kekeringan. Selain itu, banyak sumber air bersih yang akan tercemar.
Seluruh Sektor Kehidupan Manusia Menimbulkan Jejak Karbon
Pertumbuhan industri selama 150 tahun terakhir menunjukkan peningkatan emisi GRK per orang secara signifikan. Peningkatan terbesar terjadi pada beberapa negara kaya seperti Amerika, Inggris dan Australia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara standar kehidupan dengan emisi karbon. Kita dapat melihat tingkat GDP (Gross Domestic Product) sebuah negara berhubungan dengan emisi yang dihasilkan negara tersebut. Contohnya, pada tahun 2018 GDP per kapita di China sebesar $13.102 dan emisi per kapita sebesar 7,31 ton CO2. Sementara itu, di Nigeria GDP per kapita adalah $965 dan emisinya 0,08 ton (OWID, 2021). Pertumbuhan GDP yang semakin tinggi berkorelasi dengan pertumbuhan emisi jejak karbon.
Peningkatan GDP dipengaruhi oleh pertumbuhan berbagai sektor dalam sebuah negara. Untuk itu diperlukan ekstraksi sumber daya dan energi. Kedua hal itu berpotensi menimbulkan jejak karbon. Data emisi GRK global berdasarkan sektor, di antaranya: energi 72,3%; penggunaan tanah (agrikultur dan penggunaan lahan) 18,4% ; industri 5,4% ; limbah 3,2% (OWID, 2020). Data tersebut menunjukkan bahwa emisi karbon berasal dari banyak sumber. Kenyataannya, faktor mendasar, seperti produksi makanan, bangunan tempat tinggal, dan sumber energi, mengemisikan jauh lebih besar gas rumah kaca dibandingkan polusi akibat kendaraan. Sebagai bukti lain, pada 2016, emisi CO2 akibat penggunaan alat transportasi sekitar 3,53 juta ton, sementara emisi yang ditimbulkan tempat tinggal mencapai 5,39 juta ton.
Apakah Upaya Individu saja Cukup?
Jika kita melihat betapa melekatnya emisi dalam kehidupan manusia, nampaknya upaya mengurangi jejak karbon individu belum cukup untuk memperbaiki masalah perubahan iklim. Hal ini karena sumber polutan yang mendominasi nyatanya lebih sistemik, dengan skala jauh lebih besar. Dampak pengurangan jejak karbon individu, seperti menghemat listrik, menggunakan alat transportasi umum, mengurangi konsumsi produk hewan, kurang efektif jika dibandingkan dengan jumlah emisi yang dihasilkan secara global.
Sebagai perbandingan, jika kita berhasil menghilangkan 100% emisi selama sisa hidup kita, ini hanya akan menghemat kurang dari satu detik dari emisi sektor energi global. Rata-rata penduduk Indonesia mengemisikan 2,3 ton CO2 per tahun per kapita pada tahun 2023. Jika rata-rata itu tidak berubah selama sisa harapan hidup penduduk Indonesia yaitu 73,6 tahun maka total karbon yang diemisikan adalah 169,28 ton. Sementara itu, sektor energi global mengemisikan 37,4 miliar ton pada tahun 2023, atau setara 1186 ton per detik. Jika penduduk Indonesia menghilangkan 100% total emisinya maka yang dihemat adalah 0,014 detik.
Selain dampaknya yang kurang efektif, mendorong masyarakat untuk ikut serta mengurangi jejak karbon merupakan tantangan yang cukup sulit, baik di Indonesia maupun secara global. Banyak orang yang merasa tidak mampu menyediakan dana atau waktu untuk menghemat jejak karbonnya. Lebih besar lagi, sebuah negara berkembang sulit untuk mengurangi emisi karena membutuhkan energi fosil untuk melakukan pembangunan dan menumbuhkan ekonomi. Hal ini juga menyebabkan perdebatan mengenai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap perubahan iklim.
Salah satu contoh kesulitan yang bisa kita amati, yaitu pada Perjanjian Paris 2015. Untuk mengatasi masalah perubahan iklim, dilakukan perjanjian di Paris pada tahun 2015, yang ditandatangani oleh 195 negara (UNFCC, 2020). Dalam perjanjian ini negara diwajibkan melaporkan rencana yang akan mereka lakukan untuk mengurangi emisi negaranya, atau yang disebut juga Nationally Determined Contributions (NDCs).
Target dari Perjanjian Paris, yaitu membatasi kenaikan rata-rata suhu global agar tidak melampaui 1,5 °C (terhadap suhu rata rata masa praindustrial). Namun, menurut data pemantau Uni Eropa, sejak Februari 2023 hingga Januari 2024, kenaikan suhu rata-rata global telah menembus target yang ditentukan yaitu 1,52°C. Hal ini tidak serta-merta melanggar Perjanjian Paris, tetapi menunjukkan sulitnya implementasi rencana terhadap penduduk di negara tersebut.
Solusi yang ditawarkan untuk mengurangi jejak karbon individu juga tidak bisa sepenuhnya menekan jumlah emisi seseorang. Walau terlihat hemat emisi, tetapi sering kali solusi ini hanya memindahkan jejak karbon seseorang ke tempat lain. Sebagai contoh, penggunaan mobil listrik tidak menghasilkan sisa pembakaran. Namun sumber listrik yang digunakan sebagian besar berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar fosil. Di Indonesia sendiri PLTU memasok 61,60% energi listrik. Meningkatnya penggunaan mobil listrik turut meningkatkan permintaan listrik yang menghasilkan emisi karbon.
Konsep jejak karbon tidaklah salah. Mengurangi jejak karbon dalam kehidupan individu memang memiliki perannya tersendiri dalam memerangi perubahan iklim. Namun, menggunakan konsep jejak karbon untuk menghentikan perubahan iklim kurang efektif. Usaha ini terbatasi oleh emisi global yang tersistem.
Solusi Berskala Besar
Menangani perubahan iklim membutuhkan solusi dengan skala yang lebih besar. Salah satunya, yaitu sumber energi terbarukan. Dari data yang sudah disebutkan sebelumnya, sektor energi berkontribusi 72,3% total emisi dunia. Ini jumlah yang sangat besar. Mendorong energi lebih bersih berarti mengurangi sebagian besar emisi dunia.
Beberapa sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, dan geotermal telah berhasil diterapkan pada beberapa negara. Negara seperti China, India, dan Jerman mengalami perlambatan dalam peningkatan konsumsi batu bara selama 10 tahun terakhir (OWID, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa bahan bakar fosil sebagai sumber energi sudah mulai tergantikan dengan sumber daya lain yang lebih bersih.
Harga untuk energi terbarukan juga telah mengalami penurunan seiring perkembangan teknologi. Di Indonesia, Laporan Statistik PLN 2022, menyatakan rata-rata biaya listrik tenaga Surya pada tahun telah turun sebesar 19% dari tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 1.284,44 /kWh menjadi Rp 1.034,52 /kWh. Biaya ini bahkan lebih murah 91% dari biaya pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp 11.187,73 /kWh. Hal ini harus didukung agar penggunaan sumber energi listrik terbarukan di Indonesia dapat meningkat.
Selain peralihan menuju sumber energi terbarukan, perkembangan teknologi ramah lingkungan juga memainkan peran yang penting untuk mengurangi emisi. Penerapan teknologi ramah lingkungan telah menurunkan output CO2 negara-negara kaya. Sejak tahun 2000, Uni Eropa memperlihatkan penurunan sebesar 21%, dengan Italia 28%, Inggris 35%, dan Denmark 43% (OWID, 2021).
Jika hal ini terus berlanjut, emisi tidak lagi menjadi syarat untuk pertumbuhan ekonomi. Beberapa negara mulai berhasil membuktikan bahwa pemutusan emisi dari pertumbuhan ekonomi memungkinkan. Contohnya, Republik Ceko menurunkan emisinya 13% sementara GDP nya tumbuh 27%. Perancis mengurangi emisi CO2 nya sebesar 14% dan meningkatkan 15% GDP. Romania mengalami 8% penurunan karbon dan 35% pertumbuhan ekonomi. Amerika Serikat menurunkan emisi 4% dan meningkatkan GDP 26% (Ziegler, M. & Trancik, J.E. , 2021)
Faktor krusial lain yang mempengaruhi upaya untuk mengurangi emisi adalah kebijakan publik. Penerapan kebijakan publik yang berkaitan dengan perubahan iklim dapat mengubah perilaku masyarakat luas agar menerapkan pola hidup hijau. Hal ini karena kebijakan publik harus dilaksanakan dan terdapat regulasi yang mengaturnya. Kebijakan publik juga dapat membangun sistem yang kondusif agar ekonomi berkembang dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan.
Terkait dengan peranannya, kebijakan publik terkait pemanasan global dan perubahan iklim terbagi menjadi dua jenis utama (Henrik Selin, 2019). Jenis pertama, yaitu kebijakan mitigasi yang berfokus pada berbagai cara mengurangi emisi GRK. Contohnya adalah subsidi energi terbarukan dan mobil listrik, serta pajak bahan bakar fosil. Jenis yang kedua, yaitu kebijakan adaptasi yang berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Muisalnya, kebijakan adaptasi dirancang untuk merubah praktik pertanian sebagai respons terhadap perubahan iklim.
Hal apa yang Bisa Kita Lakukan?
Hal yang disebutkan tadi nampaknya di luar jangkauan kita sebagai individu. Namun kita bisa ikut mendukung implementasi dan perwujudan solusi perubahan iklim dengan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap perubahan iklim. Dengan kesadaran, kita tahu urgensi untuk mengurangi jejak karbon baik dalam skala individu ataupun dalam skala lebih besar.
Sebagai generasi muda kita juga harus memiliki wawasan dan sikap kritis terhadap isu lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan memiliki keinginan untuk berkontribusi terhadap perbaikan isu lingkungan. Dengan begitu, kita bisa memberikan ide atau aspirasi yang bisa membantu mengurangi emisi karbon.
Selain itu, mengurangi jejak karbon individu tetaplah opsi yang lebih baik dari pada tidak melakukan apa pun. Mengurangi konsumsi barang dan jasa, lebih efisien dalam menggunakan sumber daya, dan beralih ke energi terbarukan, merupakan hal yang wajib kita terapkan.
Kesimpulan
Konsep jejak karbon merupakan salah satu cara yang baik untuk mengurangi emisi. Dengan konsep ini, kita dapat menghitung jumlah emisi yang kita keluarkan. Dengan demikian, muncul target untuk mengurangi emisi tersebut.
Namun, mengurangi jejak karbon secara individu belum cukup untuk menanggulangi perubahan iklim. Reduksi jejak karbon individu harus diiringi dengan solusi yang skalanya lebih besar. Contohnya adalah, mendorong transisi sumber energi terbarukan, mengembangkan teknologi ramah lingkungan, serta menerapkan dan meregulasi kebijakan publik tentang perubahan iklim.
Peran kita sebagai generasi muda yaitu mendorong edukasi tentang perubahan iklim dan dampaknya agar muncul ide untuk menanggulanginya. Untuk itu diperlukan semangat dan keinginan untuk berkontribusi terhadap ancaman lingkungan. Diperlukan pula kesadaran untuk berperilaku dengan lebih efisien.