Ical, Si Anak Air

Munirah | JUNAEDI
Ical, Si Anak Air
Ilustrasi anak-anak bermain. (Foto: shutterstock)

Pandemi Covid-19 membatasi semua aktivitas manusia, orang tua–anak muda, orang kaya–orang miskin, kaum pria–kaum wanita, orang desa – orang  kota. Sendi–sendi kehidupan semua luluh lantah dibuatnya. Ekonomi, pendidikan, sosial–budaya, politik, ideologi, pertahanan,  keamanan dan lain sebagainya. Tak terkecuali dunia pendidikan terkena pula dampaknya. Ketika model pendidikan berubah arah dari model pembelajaran tatap muka (offline) beralih ke model pembejaran jarak jaruh (online).

Walaupun  mengalami gangguan terlambat bicara, kedua orang tua Ical tidak menyekolahkannya di sekolah khusus, seperti SLB. Tetapi Ical tetap disekolahkan  di sekolah Taman Kanak-kanak (TK) yang berlokasi tidak jauh dari rumahnya. Sebelum Covid-19 Ical adalah anak yang  semangat sekali ketika mau  berangkat ke TK. Aku tahu persis, karena ia selalu menyapaku  dan isteriku  dengan memanggil – manggil, “Ak Dhe ... Udhe...ankat  olah lu ya?” begitu Ical setiap menyapa kami berdua setiap paginya.

Sejak masa pandemi Covid-19, dimana semua dunia pendidikan menerapkan model pembelajaran jarak jauh maka nasib pembelajaran Ical pun ikut terdampak. Kini, sudah tidak pernah belajar secara tatap muka lagi, karena sampai sekarang  pihak TK belum membolehkan pembelajaran tatap muka. Saat ini tingkat emosionalnya cenderung meningkat. Suka mengamuk apabila keinginannya tidak dituruti.

Tak bisa kontrol emosi. Sudah tidak ada nyanyian Indonesia Raya lagi, yang ada hampir tiap pagi kudengar dari mulut Ical terdengar  lucu ditelingaku. Ical dulu beda dengan Ical sekarang . Ical sekarang  merdeka belajar  dengan alam. Dengan air,  salah satu unsur alam.  Air  adalah sumber kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Kini Ical akrab dengan alam. Akrab dengan air. Hampir semua kegiatannya ia habiskan dengan mainan dengan air. Terkadang jika ibunya menyuruh menyudahi bermain dengan air, ia marah-marah.

Setiap  ba'da subuh aku dan keluargaku sesekali terjaga akibat celotehan Ical yang sudah mulai ngomong sendiri dengan bahasa 'planet'nya. Ketika itu juga , dapat dipastikan ia sedang berakrab-akrab ria dengan air. Air baginya adalah guru, teman dan orang tua. Ketika sosok guru meninggalkannya maka airlah menjadi penggantinya. Ketika teman-teman seumuran mulai  menjauhinya karena merasa beda levelnya maka airlah menjadi penggantinya.

Ketika kedua orang tua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing dan tidak ada waktu untuk menemaninya maka airlah menjadi penggantinya. Hingga akhirnya banyak tetangga menyebutnya ‘Ical Si Manusia Air’. Karena tiada hari tanpa mainan air.

Ical tumbuh menjadi pribadi yang menurutku dan sebagian tetangga menjadi pribadi yang agak aneh. Tetapi mau gimana lagi. Seperti sudah kecanduan dengan air.  Selama pembelajaran tatap muka belum diperbolehkan oleh Kemendikbudristek.  Hal ini sebetulnya kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Secara fisik Ical tumbuh dan berkembang normal seperti anak seumurannya, tetapi dari cara berfikir ada keterlambatan bicara dibandingkan dengan anak seusianya.

Dengan kata lain pertumbuhan dan perkembangan secara fisik tidak dibarengi dengan perkembangan  bicaranya. Sering sekali Ical menyapa istriku, kebetulan hubungan Ical dengan istriku sangat dekat, dengan sapaan, “Udhe... @#$%&*... ya?.” Beberapa diksi yang diucapkan Ical tidak jelas seperti bahasa planet.  Sewaktu berbicara dengan siapa pun baik orang dewasa maupun teman seusianya. Juga ada beberapa diksi yang diucapkan hanya pada akhir katanya saja.

Vokal huruf "a i u e o" sangat mendominasi semua diksi-diksi pada  akhir semua ucapannya  dan seperti di seret–seret supaya cepat rampung bicaranya. Terus bagaimana nasib siswa/siswi penyandang disabilitas lainnya, yang bersekolah di SLB yang harus di dampingi oleh seorang guru? Dan di SLB ini tidak mungkin dapat beraktivitas  sebagaimana mestinya jika masih  menggunakan model pembelajaran jarak jauh (pjj) atau daring.  

Seyogyanya perlakuannya harus berbeda antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal. Karena penyandang disabilitas ini, harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang super ekstra khusus bukan perlakuan standar normal biasanya. Maka jangan tinggalkan penyandang disabilitas di era dan setelah masa Pandemi  Covid-19. Dimanakah posisi negara dalam  memberikan hak-hak dasar  kepada para penyandang disabilitas  di masa pandemi Covid-19?

Dimanakah Kemendikbudristek dalam memberikan pelayanan super ekstra kepada  para penyandang disabilitas di dunia pendidikan?  Bukankah pendidikan adalah hak dasar  bagi warga negara tanpa terkecuali anak-anak penyandang disabilitas? Kapan lagi negara akan mewujudkan salah satu tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Junaedi, S.E., Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak