Marak Kekerasan Seksual di Kampus, Etika Menurun, Apa Tindakan Pemerintah?

Ayu Nabila | Fadilla Ashifa
Marak Kekerasan Seksual di Kampus, Etika Menurun, Apa Tindakan Pemerintah?
Ilustrasi pelecehan seksual terhadap mahasiswa (Suara.com/Ema)

Menurut The World Health Organization dalam Understanding and Addressing Violence Against Women, kekerasan seksual merupakan setiap tindakan seksual, upaya untuk mendapatkan tindakan seksual, komentar seksual yang tidak diinginkan, bertindak untuk memperdagangkan atau ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan paksaan, oleh siapapun tanpa memandang hubungannya dengan korban, dalam pengaturan apa pun, tidak terbatas pada rumah dan tempat kerja. Paksaan bisa mencakup ketidaksetaraan tingkat kekuatan; intimidasi psikologis; pemerasan; atau ancaman (kerugian fisik atau tidak mendapatkan pekerjaan/kelas, dan lain-lain). 

Kekerasan seksual dapat terjadi oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, bahkan salah satunya kekerasan seksual dapat terjadi di lingkungan kampus atau perguruan tinggi. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Perempuan pada Oktober 2020 mencatat aduan kekerasan seksual di perguruan tinggi sebanyak 27%.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menanggapi realitas kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kemendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permendikbud Ristek ini dikeluarkan sebagai pedoman perguruan tinggi dalam menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus.

Keterkaitan Kekerasan Seksual terhadap Penegakkan Etika dan Norma

Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan yang melawan etika maupun norma. Kekerasan seksual ini telah melanggar norma agama dimana perbuatan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. Umumnya di dalam organisasi perbuatan individu ini diatur dalam kode etik yang mewajibkan seluruh anggota organisasi untuk mengikutinya, tidak terkecuali dalam lingkungan perguruan tinggi.

Kode etik tersebut merupakan suatu pedoman bagi anggota organisasi untuk bertindak dan pelanggaran pada kode etik akan mendapatkan hukuman dan sanksi yang telah ditetapkan. Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 merupakan salah satu wujud norma hukum yang telah berlaku di masyarakat. Norma hukum ini butuh ditegakkan agar pelaku akan mendapatkan efek jera sehingga dapat mengurangi tindakan kekerasan seksual khususnya di perguruan tinggi. 

Pro Kontra terhadap Pengesahan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021

Kontra Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) hingga saat ini masih menuai pro dan kontra yang berasal dari masyarakat. Salah satunya yang berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dicabut atau setidaknya dievaluasi atau direvisi.

Alasannya, karena proses pembentukannya yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan muatan materinya bertentangan dengan syariat, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan nilai budaya Indonesia. MUI juga menyatakan perlunya revisi atas penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” yang terdapat di Pasal 5 Ayat (2) karena korban dari kekerasan seksual tidak pernah diminta persetujuan untuk dijadikan korban kejahatan. 

Pendapat lain mengenai hal ini juga disampaikan oleh Guru Besar IPB, Prof. Euis Sunarti, yang menyatakan bahwa perlunya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini diubah. Oleh karena itu, beliau menyampaikan ada tiga hal yang harus dibenahi, yaitu perlunya pelurusan agar tidak ada sexual consent, definisi kekerasan seksual yang dirapikan sehingga tidak muncul multitafsir, dan tidak adanya perlindungan terhadap identitas gender yang didefinisikan dapat berubah-ubah. Menurut beliau, semua ini harus sesuai dengan sila pertama Pancasila dan agama. 

Kemudian, terdapat pendapat pro terhadap Permendikbud Ristek ini yang berasal dari Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, yang menyambut baik dan mendukung penuh Permendikbud Ristek ini karena dianggap krusial sebagai payung hukum terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

Permendikbud Ristek ini dianggap sangat revolutif dan dapat memecahkan stagnasi penyelesaian kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Bahkan, bentuk dukungannya ini juga diwujudkan dalam bentuk pengeluaran Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN). 

Dukungan lain juga muncul dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) yang menilai Permendikbud Ristek ini sebagai langkah strategis negara yang menunjukkan komitmennya untuk menyediakan perlindungan bagi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dan respons terhadap tingginya angka kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. 

Implikasi Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 terhadap Kasus Kekerasan Seksual Universitas Riau

Kasus kekerasan seksual kembali terjadi di ranah dunia pendidikan, tertanda pada tanggal 27 Oktober 2021 kasus kekerasan seksual di Universitas Riau (UNRI) terkuak. Kasus ini dialami oleh mahasiswi berinisial “L” jurusan hubungan internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Berawal dari mahasiswi memiliki maksud untuk melakukan bimbingan skripsi kepada dosen pembimbing berinisial “SH” yang sekaligus memiliki jabatan sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. 

Jika kita telaah kasus kekerasan seksual di Universitas Riau melihat implikasinya terhadap Permendikbud Ristek No. 30/2021 hal ini bisa menyangkut ke dalam beberapa hal pengenaannya diantaranya, Kemendikbud Ristek menyatakan tidak ingin memberikan toleransi terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.

Kemendikbud Ristek juga terus berkoordinasi dengan rektor UNRI dan respon dari rektor UNRI menyatakan akan mengusut kasus kekerasan seksual tersebut mengacu pada Permendikbud ristek demi keadilan korban. Salah satu data yang ditemukan hingga saat ini pihak UNRI menyatakan telah merekomendasikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk membentuk tim khusus dalam mengatasi masalah ini.

Tindakan dekan UNRI melanggar Permendikbud Ristek Pasal 5 ayat (2) huruf C, D, dan L yaitu pelaku mengucapkan kata-kata yang merayu pada korban tanpa persetujuannya karena setiap menanyakan pertanyaan kepada korban pelaku sesekali mengucapkan kata “I Love You” yang mana dalam tindakan tersebut tidak diikutkan persetujuan korban. Tidak hanya itu, pelaku juga melakukan tindakan-tindakan pelecehan seksual lainnya secara fisik, salah satunya mencium korban tanpa persetujuan sama sekali.

Setelah adanya kejadian tersebut (sesuai dengan data yang kami dapat) korban saat ini masih memiliki rasa takut dan trauma berat, maka dengan demikian sesuai dengan Permendikbud Ristek No.30/2021 korban mendapatkan penanganan yang tertera pada Pasal 10 yaitu pemulihan korban dan Pasal 11 yaitu bentuk penanganan untuk korban seperti, konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi dan/atau bimbingan sosial dan rohani.

Pada penanganan ini korban harus menyetujui segala tindakan yang akan diberikan kepadanya, namun apabila korban tidak bisa menyetujuinya maka akan diwakilkan kepada orang tua/wali korban. Tak hanya itu, melihat kondisi korban hingga saat ini yang masih takut dan trauma berat maka sesuai dengan Permendikbud Ristek korban berhak mendapatkan pemulihan sesuai dengan Pasal 20 yaitu pemulihan seperti, tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologis dan/atau bimbingan sosial dan rohani.

Korban masih memiliki status sebagai mahasiswa sehingga korban berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 12 yaitu korban berhak mendapatkan jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi Mahasiswa, jaminan perlindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain, jaminan kerahasiaan identitas, perlindungan Korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana, dan lain-lain. Karena sesuai informasi yang didapatkan korban merupakan seorang mahasiswi jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

Pengenaan dengan sanksi yang diberikan kepada pelaku dan pihak universitas maka untuk pelaku akan dikenakan Pasal 13 tentang pengenaan administratif karena pelaku adalah seorang pendidik, hingga Pasal 19 tentang pengenaan sanksi kepada UNRI. Jika kita jabarkan sedikit terkait pengenaan sanksi kepada pelaku, maka pelaku akan mendapatkan teguran tertulis (sanksi ringan), diberhentikan sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan (sanksi sedang), dan pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik (sanksi berat). Namun, untuk pihak UNRI maka akan mendapatkan sanksi berupa penghentian bantuan keuangan kepada pihak UNRI dan penurunan akreditasi.

Referensi :

Hilmi, M. F. (2019). Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional. Jurist-Diction: Vol. 2 No. 6, 2199-2218.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. https://jdih.kemdikbud.go.id/sjdih/siperpu/dokumen/salinan/salinan_20211025_095433_Salinan_Permen%2030%20Tahun%202021%20tentang%20Kekerasan%20Seksual%20fix.pdf . diakses pada 30 November 2021

Komahi FISIP UNRI. 2021. 04 November. Kronologi Kekerasan Seksual di Kampus UNRI. [Video]. Twitter. https://twitter.com/KOMAHI_UR/status/1456140195472965634

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak