Saya yakin, setiap orang tentu mendambakan pasangan dalam hidupnya. Menikah, memiliki momongan, memiliki pekerjaan mapan, serta dapat mengarungi kehidupan rumah tangga dengan bahagia merupakan impian mayoritas orang. Namun realitanya, tak semua orang dapat segera mewujudkan harapannya tersebut dan akhirnya menjalani hidup dalam kesendirian.
Dalam buku berjudul "Sendiri tapi Bahagia" ini, Zahra Z. Syuaiban memaparkan perihal apa saja yang bisa dilakukan oleh orang-orang berstatus lajang alias masih hidup sendiri. Penting dipahami di sini bahwa sendiri bukan berarti tak berhak meraih kebahagiaan. Sebab, setiap orang berhak untuk hidup bahagia. Atau dengan kata lain: bahagia milik semua orang. Itulah inti pesan yang dapat saya simpulkan dari buku terbitan Araska Yogyakarta ini.
Selagi status kita masih single atau jomlo, ada banyak hal yang bisa dikerjakan. Misalnya, melakukan berbagai kegiatan positif sehingga dapat mengalihkan kita dari pikiran-pikiran negatif atau hayalan-hayalan yang dapat membuat kita merasakan kesedihan dan rasa gundah gulana.
Saat kita sedang merasa sendiri dan dirundung kesedihan, memperbanyak berbuat kebaikan dapat dijadikan sebagai sebuah pilihan. Berbuat baik terhadap sesama, misalnya bersedekah kepada fakir miskin atau meringankan beban orang lain, terbukti dapat menjadikan hati lebih tenteram, damai, dan bahagia. Menyalurkan hobi atau bakat terpendam dan bergabung dengan orang-orang sehobi, juga dapat membuat wawasan kita semakin bertambah luas.
Perbuatan baik itu laksana wewangian yang tak hanya mendatangkan manfaat bagi pemakainya. Namun, juga bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Tak hanya itu, manfaat psikologis dari kebajikan itu terasa seperti obat-obat manjur yang tersedia di apotik orang-orang yang berhati baik dan bersih (halaman 40).
Selama kita masih hidup sendiri (belum menikah), berusahalah untuk meningkatkan (memperbanyak) aktivitas yang bernilai positif. Jangan sampai lebih banyak waktu yang kosong atau menganggur. Orang-orang yang banyak menganggur, sebagaimana diuraikan dalam buku ini, biasanya akan menjadi penebar isu dan desas-desus yang tak bermanfaat.
Waktu paling berbahaya bagi akal adalah manakala pemiliknya menganggur dan tak berbuat apa-apa. Orang seperti itu ibarat mobil yang berjalan dengan kecepatan tinggi tanpa sopir, akan mudah oleng ke kanan dan ke kiri. Menganggur tanpa kegiatan, terbukti menjadi pemicu rasa sedih, gundah, dan cemas. Sebab, dalam keadaan kosong itulah pikiran kita akan menerawang ke mana-mana; mulai dari mengingat kegelapan masa lalu, menyesali kesialan masa kini, hingga mencemaskan kelamnya masa depan yang belum terjadi.
Waktu kosong itu tak ubahnya seperti siksaan halus di dalam penjara; meletakkan si narapidana di bawah pipa air yang hanya dapat meneteskan air satu tetes setiap menit selama bertahun-tahun. Dalam masa penantian yang panjang itulah, biasanya seorang narapidana akan menjadi stres dan gila (halaman 43).
Kenikmatan terbesar dalam hidup ini adalah kegembiraan, kententeraman, dan ketenangan hati. Sebab, dalam kegembiraan hati itu terdapat keteguhan pikir, produktivitas yang bagus, dan keriangan jiwa. Modal utama untuk meraih kebahagiaan adalah kekuatan atau kemampuan diri untuk menanggung beban kehidupan, tidak mudah goyah oleh goncangan-goncangan, tak gentar oleh peristiwa-peristiwa, dan tak pernah sibuk memikirkan hal-hal sepele atau yang tak penting (halaman 136).
Selanjutnya, bicara tentang jodoh, Tuhan telah mengaturnya dengan begitu adil dan bijaksana. Bahwa setiap orang telah ditentukan jodohnya masing-masing oleh-Nya. Tugas setiap orang adalah berdoa seraya tak lelah berusaha. Andai pun sudah berdoa dan berusaha tapi belum kunjung bertemu jodohnya, tak perlu merasa berkecil hati, putus asa, apalagi sampai menyalahkan garis takdir-Nya.
Percayalah, kondisi kita saat ini (masih lajang atau sudah menikah) merupakan kondisi terbaik menurut ketetapan-Nya. Tak usah terlalu memusingkan kata-kata orang yang selalu bertanya atau menyindir kita tentang “kapan menikah” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang memojokkan dan membuat hati menjadi bersedih. Memikirkan kata-kata orang yang tak penting hanya akan membuang energi dan menguras pikiran.
Perlu direnungi bahwa Allah mempunyai tiga pilihan dalam menjodohkan manusia satu sama lain. Pertama, cepat mendapatkan jodoh. Kedua, lambat mendapatkan jodoh, tapi suatu ketika pasti mendapatkannya di dunia. Ketiga, menunda mendapatkan jodoh sampai akhirnya bertemu jodohnya di akhirat kelak. Apapun pilihan jodoh yang telah ditetapkan oleh Tuhan, kita harus yakin dan percaya bahwa itu adalah keputusan terbaik-Nya (halaman 177).
Terbitnya buku ini dapat dijadikan sebagai salah satu bacaan yang bermanfaat sekaligus sebagai terapi kesedihan bagi para jomlo. Tak ada gading yang tak retak, begitu pepatah yang kerap kita dengar. Demikian juga dengan buku ini yang masih memiliki kekurangan atau kelemahan.
Menurut saya, kelemahan buku ini ada pada beberapa kalimat yang kurang efektif dan juga masih dijumpai kesalahan penulisan kata-kata. Semua kelemahan tersebut tentu masih dapat direvisi oleh penulis dan pihak penerbit bila buku ini akan dicetak ulang.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.