Jika umat Islam masa kini memangku stigma kaku dan terkesan menyulitkan, maka buku ini tidak hanya sarat nasihat yang jauh dari hingar-bingar kekerasan. Jauh dari hiruk-pikuk cacian. Jauh dari persoalan paling merasa benar, dan ingin merasa dibenarkan.
Justru buku ini berhasil menggeser paradigma buruk tersebut dengan menyodorkan sebuah petunjuk bagaimana menjalankan ajaran Islam yang luwes, dan tidak terkotak-kotak.
Katakanlah perihal memusyrikkan orang lain, mengkafir-kafirkan orang lain yang kini jamak dilontarkan di media sosial. Cak Nun menganjurkan agar kita harus luas dalam memandang hidup. Tidak mudah marah karena musyrik letaknya di dalam pikiran sementara tidak ada di antara kita yang bisa memastikan apa yang dipikirkan orang lain.
Konstruksi kebangsaan semacam inilah yang kini tengah melanda masyarakat. Seakan-akan lanskap agama, etnis bahkan politik adalah panggung perbedaan yang harus diselesaikan lewat pertikaian dan pertengkaran.
Untuk itu, kehadiran buku setebal 238 ini, benar-benar mengajak pembaca untuk menelusuri hakikat Islam yang benar-benar rahmatan lil ‘alamien, yang tidak hanya diucapkan sampai tenggorokan, melainkan selaras dengan perbuatan.
Dengan begitu, hasilnya adalah sikap saling menghargai, saling menghormati, tidak menghina meski berbeda suku, ras bahkan yang seiman tetapi berbeda cara pandang.
Pada akhirnya, jika Anda ingin menyelami samudera kedamaian, ingin menemukan Islam yang betul-betul rahman dan rahim, tak ada salahnya menambah buku ini dalam daftar bacaan. Niscaya Anda akan tertegun, termenung, bertanya-tanya, sudah benarkah pemahaman terhadap agama saya peluk ini? Jika belum, mari bersama-sama berbenah diri setidaknya sebelum Izrail bertamu terlalu dini.
Sebagai penutup ulasan singkat ini, serta dengan penuh rasa takdzim dari lubuk hati, izinkan saya mengakhirinya dengan ucapan Cak Nun sendiri.
“Maka, marilah kita semua rukun. Sudah bukan zamannya orang beli rokok ditanya agamanya apa. Bukan zamannya orang beli rujak dilihat KTP-nya lalu si pembeli tidak jadi karena yang dijual rujak Muhammadiyah. Kalau yang jualan bukan NU tidak mau beli. Nanti mau naik angkot dicek KTP, Islam apa kafir? Kalau bikinan orang kafir tidak mau menggunakannya. Akhirnya pergi haji ke Arab Saudi merangkak, berenang membelah samudera, karena pesawat itu bikinan orang kafir.” (Hal. 155)
Ya, marilah kita hidup sebagaimana ajaran nenek moyang karena kita semua bersaudara dengan segala macam perbedaan.
wallahu a'lam bisshowab