Glass Ceiling: Masalah Gender di Tempat Kerja

Hernawan | Tiara Putri Hikmawati
Glass Ceiling: Masalah Gender di Tempat Kerja
Ilustrasi bekerja (pexels/Yan Krukov).

Salah satu isu yang banyak diangkat ketika membahas soal gender adalah bagaimana dominasi laki-laki dalam berbagai hal terutama di area industri, ibarat aktor utama di ranah pekerjaan. Laki-laki mostly diangap lebih layak untuk memimpin, mengatur dan memutuskan sesuatu. 

Dari aspek pekerjaan, kita semua tahu stereotip yang disematkan pada laki-laki itu cenderung positif. Banyak stigma masyarakat kita yang menganggap bahwa laki-laki itu lebih logis, rasional, dan tegas. Dalam pembagian kerja pun, laki-laki mostly dianggap lebih mumpuni, padahal mereka sama secara kualitas dan kemampuan.

Di Indonesia sendiri prosentase perempuan yang bekerja hanya sekitar 39,3 % dengan pekerjaan yang diisi kebanyakan mengarah pada profesi yang berhubungan dengan femininity. Misal perempuan katanya lebih memiliki empati, lembut, lebih bisa ngemong. Jadi, profesi yang layak dan cocok untuk perempuan itu seperti guru tk, bidan, bahkan pekerja sosial lainya. Berulangkali masalah stereotip. stigma seperti ini memang sudah tertanam kuat dan mendarah daging pada masyarakat kita. 

Tidak hanya Indonesia, di Eropa segregasi profesi ini juga ada lho, contoh di Jerman, memiliki 83,2 juta penduduk jiwa dimana 69% laki-laki di sana bekerja. Dari presentase tersebut 70% kolega kerja mereka juga laki-laki. Berdasarkan teori Of Token Nezemia by Rosabeth Moss Kanter, salah satu professor business school di Universitas Harvard mengatakan bahwa pihak minoritas itu rentan untuk menjadi subjek diskriminasi. Hal inilah yang sering dialami oleh perempuan. 

Dalam dunia kerja, perempuan katanya tidak capable dibanding laki-laki, diremehkan kemampuanya, bahkan kurang diapresiasi oleh atasan, apalagi ketika perempuan ditoken, di sini perempuan mengalami tekanan tambahan dari stereotip threat yaitu ketakutan bahwa mereka mengkonfirmasi stereotip negatif terhadap kelompok sosial mereka, dan in this case mereka sebagai perempuan. Stereotype threat ini akan mengambil mental dan kognitif capacity mereka lebih banyak, yang bikin perempuan akhirnya jadi underperforming di tempat kerja. Hal ini kemudian dijadikan justifikasi orang-orang bahwa indit perempuan memang gak bisa kerja. 

Di dunia kerja, kendala lain yang dialami oleh perempuan adalah fenomena glass ceiling. Fakta menarik mengenai glass ceiling dalam dunia kerja dapat terlihat pada aspek pendapatan atau sistem gaji. Kebanyakan perempuan Indonesia mendapat gaji yang lebih sedikit dibanding laki-laki. 

Selain pekerjaan domestik, wanita karier biasanya memiliki beban ganda (double burden), di lingkungan kerja. Seperti jika ingin naik posisi, perempuan seperti diharuskan untuk breaking the glass ceiling. Lebih lanjut kita perlu memahami mengenai glass ceiling. 

Apa itu Glass Ceiling?

Perlu diketahui bahwa Glass Ceiling, menurut Linda Wirth dalam bukunya Breaking to The Glass Ceiling merupakan istilah yang diciptakan pada tahun 1970-an di Amerika Serikat untuk menggambarkan hambatan-hambatan yang tidak terlihat dalam perkembangan karir perempuan. 

Munculnya Glass Ceiling merupakan sebuah cerminan dari ketimpangan gender secara politik dan ekonomi. Secara kasat mata, kesempatan pada perempuan dalam dunia kerja saat ini memang terbuka lebar. Namun, banyak hal yang sebenarnya masih menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang. Dengan kompetensi, pengalaman dan gelar yang sama, tak jarang perempuan harus bekerja berkali-kali lipat lebih keras dibanding rekan laki-laki agar mendapat pengakuan yang sama.

Faktor terjadinya glass ceiling di lingkungan kerja selain karena stereotip, bias gender, diskriminasi lainya yang dialami oleh perempuan adalah semacam pengakuan dan penghargaan dalam kinerja yang dilakukanya. Secara budaya, bekerja bagi perempuan adalah nomor dua dan nomor satu adalah mengurus keluarga. Dalam proses rekrutmen bekerja, pertanyaan yang sering diajukan kepada perempuan adalah “apakah sudah berkeluarga atau memiliki anak” akan tetapi pertanyaan serupa tidak ditanyakan kepada laki-laki. Perempuan berkeluarga yang diterima bekerja karena dianggap akan sering cuti untuk urusan keluarganya. 

Upaya untuk mendobrak glass ceiling bisa dilakukan jika masyarakat menyadari keberadaan glass ceiling itu sendiri, memahami privillage yang kita miliki, kesadaran akan keadilan gender, membentuk sistem dan peraturan yang lebih dari tatanan sosial terkecil hingga besar. Keberhasilan dobrakan glass ceiling tidak dapat diinterpretasikan sebagai keberhasilan individu. 

Male Dominated Industry

Bentuk lain dari glass ceiling juga sering muncul di tempat kerja terutama dalam bidang industri seperti pertambangan, teknik atau sejenisnya yang sering disematkan pada pekerja mostly male dominated. Dalam pembagian kerja, kita sering mendengar atasan laki-laki yang tidak tega untuk menekan bawahanya yang perempuan, karena beranggapan bentuk didikan pada perempuan harus dibedakan dengan laki-laki.

Padahal perbedaan sikap tersebut justru secara tidak langsung hanya akan memberikan kesempatan untuk memperlihatkan kemampuan pekerja laki-laki saja. Sedangkan perempuan masih stuck di satu tempat karena diberi pekerjaan yang berbeda agar tekanan yang diberikan juga berbeda. Padahal pekerja laki-laki dan perempuan tersebut memiliki posisi yang sama, dan kasus-kasus semacam inilah yang memunculkan pandangan bahwa pekerja laki-laki itu sudah lebih teruji, lebih terpercaya, dan dapat diandalkan. 

Suatu bentuk deeperconnection yang sangat terlihat dalam dunia kerja dengan hasil yang jelas, bahwa pekerja laki-laki mendapatkan promosi jabatan lebih dulu dibanding perempuan yang memulai awal kariernya bersama rekan laki-laki tersebut. Banyak perempuan menghadapi kesulitan karena hal semacam ini, mereka berjuang merintis karier di lingkungan kerja mereka yang didominasi oleh laki-laki. Faktor kurangnya bimbingan, dan dukungan dari supervisor juga dapat mempengaruhi kasus seperti ini. 

Female Dominated Industry

Berbeda dengan pengalaman perempuan, laki-laki biasanya mendapatkan sambutan hangat nih ketika memasuki profesi yang didominasi perempuan. Walaupun ada ocupational segregation, saat ini banyak laki-laki yang tertarik dengan dunia kerja yang lingkunganya didominasi oleh perempuan, seperti; chef, fashion designer atau lainya. biasanya hal seperti ini disebut pink color jobs atau pekerjaannya perempuan.

Namun, di sini laki-laki mostly lebih memiliki keuntungan seperti yang dikatakan oleh Christine L Williams, laki-laki itu cenderung mendapat profit semacam posisi yang tinggi, gaji lebih banyak ketika berada di industri yang didominasi oleh perempuan. Williams menyebut fenomena ini sebagai glass escalator. 

Hal ini disebabkan karena sexism, laki-laki itu lebih capable, mereka dianggap lebih mudah untuk membuat koneksi dengan kolega kerja. Laki-laki didalam dunia pekerjaan ini biasanya tidak dikecualikan dan malah dimudahkan untuk mengakses jaringan sosialnya. Mendapat prestise karena minoritasnya laki-laki di pekerjaan ini, katanya laki-laki lebih mumpuni untuk berivestasi. Fenomena glass escalator ini juga dapat ditemukan di tech industri, khususnya di perusahaan-perusahaan silicon valley. 

Banyak hasil kerja perempuan yang diunderstimate dengan alasan sexism, stereotipe atau semacamnya. Sangat disayangkan jika diskriminasi seperti ini masih ada dalam dunia kerja. Padahal laki-laki dan perempuan juga memiliki kemampuan yang sama, dan memiliki qualified. 

Namun, d isini ada fenomena berbeda menurut William dalam tulisanya yaitu "The Glass Escalator: Hidden Advantages For Men in the "Female" Professions”. Subjek dari studinya adalah Cheese hetero white man. Glass escalator ini mencakup gimana rasisme, homofobia dan juga ketimpangan kelas yang pada akhirnya menguntungkan beberapa kelompok pria dan mendiskriminasi orang lain.

Contohnya laki-laki kulit hitam itu tidak mendapatkan privillage sebagai laki-laki, terutama kalau mereka kerja di tengah-tengah kolega perempuan yang kulit putih, malah ada stigma buruk nih bahwa pria kulit hitam itu sexual predator dan membahayakan perempuan kulit putih. Lain halnya laki-laki yang gay atau trans. mereka tuh harus bisa adjusting diri mereka, supaya bisa diterima sesuai dengan standar cheese heteronormative dan juga diterima oleh tempat kerjanya mereka. 

Berarti, bisa diartikan bahwa yang mengalami ketimpangan gender di lingkungan kerja bukan hanya dialami oleh perempuan. Namun, perlu digarisbawahi kebanyakan dari kasus yang ada, perempuan memang seringkali dihadapkan oleh kesulitan semacam glass ceiling, diskriminasi atau stereotip negatif di tempat kerja.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak