"Orang bilang tanah kita tanah syurga". Sudah tak asing lagi di benak kita mengenai potongan lirik lagu tersebut. Ada kalanya kita sebagai mahluk ciptaan-Nya untuk senantiasa menjaga kekayaan yang dimiliki tanah kelahiran kita yaitu Indonesia. Predikat Indonesia sebagai negara kepulauan, tentunya Indonesia memiliki kekayaan yang berbeda-beda disetiap daerahnya masing masing, tak terkecuali Jawa Barat. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terbilang memiliki daerah administratif yang sangat luas.
Daratan Jawa Barat yang terbentang di antara luasnya hamparan kepulawan Jawa ini menyuguhkan sejuta kekaguman yang tak jarang membuat seseorang berdecak kagum dibuatnya. Mulai dari bentang alam yang sanagat memesona jika kita menelusurinya lebih dalam, hingga bentang budaya yang masih melekat pada setiap segi kehidupan masyarakatnya masing-masing. Kekayaan itulah yang dewasa ini perlu dipertahankan sebagai salah satu identitas diri sebuah daerah dalam menghadapi kemajuan zaman yang semakin tidak terelakkan.
Desa Cilangari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Desa ini merupakan Desa yang terbilang cukup luas dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada hasil alam. Hasil alam berupa padi merupakan salah satu komoditas utama masyarakat di desa Cilangari.
Hampir setiap tahun, hasil panan padi di desa Cilangari terbilang sangat banyak. Kondisi alam yang masih sangat terjaga membuat sebagian besar masyarakatnya banyak yang memanfaatkannya secara langsung dengan tidak merusaknya demi ketersediaannya yang dalam jangka waktu yang lama. Seperti halnya sungai, sungai banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan sehari hari seperti mandi, mencuci, sarana irigasi hingga tempat rekreasi masyarakat sekedar untuk melepas penat.
Ada sesuatu yang unik mengenai tradisi yang telah berkembang sejak zaman dahulu pada kebiasaan masyarakat Cilangari, terutama yang erat hubungannya dengan sungai. Salah satunya yaitu kepercayaan mengenai lelembut (arwah). Pada kebiasaan masyarakat Cilangari apabila seseorang telah melakukan aktivitas di sekitar sungai, mereka selalu melakukan semacam ritual lempar batu ke tengah sungai. Hal ini bertujuan untuk mengajak kembali lelembut (arwah) mereka untuk pulang setelah beraktivitas di sungai.
Tidak ada cara ataupun aturan khusus yang harus dipatuhi untuk melakukan lempar batu semacam itu. Seseorang hanya perlu melemparkan batu sungai kecil yang bisa didapatkan dari pinggir sungai dan melemparkannya ke tengah sungai sambil mengucap "lelembut hayu urang uih" atau dalam bahasa Indonesia berarti "arwah ayo kita pulang". Tradisi ini sendiri sifatnya tidak mengikat, artinya tidak ada anjuran wajib bagi siapa saja yang datang ke sungai tersebut harus melakukan tradisi lempar batu.
Mengingat bahwa tradisi ini sifatnya yang diwariskan secara turun temurun oleh orang tua zaman dahulu kepada anak-anaknya yang senang bermain ke sungai. Sehingga, keberadaannya pun hanya melekat pada diri sebagian masyarakat saja. Alasan tradisi ini dilakukan yaitu sebagai bentuk penolakan terhadap segala bentuk keburukan yang memungkinkan terjadi pada diri seseorang ketika telah melakukan aktivitas di sungai tersebut.
Sungai dalam perspektif masyarakat Desa Cilangari terkadang seringkali dikaitkan pada hal hal yang bersifat gaib dan tak mudah dipikir oleh nalar serta logika. Leuwi (lubuk), merupakan bagian sungai yang biasanya dijadikan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas berenang bagi masyarakat karena teksturnya yang tidak berbatu serta memiliki kedalaman yang bervariatif. Masyarakat di Desa Cilangari banyak yang beranggapan bahwasanya leuwi ini pula menjadi tempat bernaung para putri ketika terjadi salah satu fenomena alam yaitu pelangi.
Seperti yang kita ketahui bahwa pelangi adalah fenomena alam yang terjadi akibat pembiasan cahaya matahari dengan hujan yang menghasilkan pantulan warna yang terlihat ciamik. Lengkungan warna yang dihasilkan dipercaya merupakan para putri yang turun ke bumi untuk bernaung di sebuah tempat yaitu leuwi. Kepercayaan ini merupakaan salah satu kepercayaan masyarakat kuno zaman dahulu yang masih ada hingga saat ini di desa cilangari.
Selain itu pula keberadaan leuwi sendiri sering dikaitkan pada sebuah mitos kuno yang beranggapan bahwa leuwi, yang memiliki kedalaman di atas empat meter, memiliki sebuah bagian yang disebut "lulun samak". Lulun samak dipercaya ada oleh sebagian masyarakat, tepatnya di dasar leuwi yang kedalamannya relatif tinggi.
Menurut cerita sebagian masyarakat Cilangari yang beredar bahwa bentuk dari lulun samak ini berbentuk hamparan layaknya samak/karpet yang membentang didasar leuwi, dan siapa saja yang tidak sengaja menemukan atau menginjaknya lulun samak akan menggulung lalu membawanya kesebuah tempat yang bersifat gaib, sehingga korban dari lulun samak ini dipercaya tidak akan selamat dan tidak akan pernah kembali.
Masyarakat tentunya tidak ingin hal semacam itu terjadi pada anggota keluarganya. Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat memberi nama satu per satu leuwi yang ada di sungai tersebut. Tradisi pemberian nama pada leuwi tersebut memang sudah ada sejak zaman dahulu yang kini masih ada dan dipercaya oleh masyarakat setempat. Tradisi pemberian nama tersebut biasanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi fisik dari leuwi itu sendiri.
Sebagai contoh adalah leuwi hideung. Hideung dalam bahasa Indonesia berarti hitam, hal itu sesuai dengan kondisi leuwi tersebut yang pada dasarnya banyak ditumbuhi pohon yang berkanopi rapat disekitar leuwi, sehingga terkesan remang remang dan hanya sedikit pencahayaan, sehingga diberi nama leuwi hideung.
Contoh lain adalah leuwi waru yang memang pada dasarnya disekeliling leuwi tersebut banyak sekali ditumbuhi pohon waru. Waru adalah salah satu tumbuhan yang memiliki ukuran daun cukup lebar dan banyak tumbuh di sekitar sungai di desa cilangari. Hingga kini bukan hanya satu atau dua saja leuwi yang memiliki nama, tetapi beberapa leuwi pun kini telah memiliki nama seperti leuwi anting, leuwi kopeng, leuwi badak, serta leuwi leuwi lainnya.
Tradisi pemberian nama tersebut didasarkan pula pada kekhasan suku yang ada di desa cilangari tersebut yaitu suku asli sunda. Tak heran, penamaannya pun banyak yang berbahasa sunda. Tradisi tradisi unik yang hingga saat ini masih melekat pada diri masyarakat Desa Cilangari merupakan warisan atau peninggalan dari orang tua zaman dahulu yang masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat.
Kepercayaan tersebut menjadi identitas tersendiri bagi Desa Cilangari. Selain itu pula, dapat dijadikan sebagai salah satu kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia yang jarang diulik oleh khalayak umum, sehingga keberadaanya pun masih sangat alami.
Tentunya semua kekayaan ini sudah seharusnya kita jaga keberlangsungannya, agar dalam beberapa tahun ke depan hal ini akan menjadi suatu modal bagi kita untuk lebih mencintai daerah kita sendiri, melalui tradisi-tradisi unik yang selama ini tersimpan sebagai salah satu bentuk kekayaan tradisi dari Indonesia, khususnya Jawa Barat.