Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar: Beragama yang Bersahabat dan Bersahaja

Hernawan | al mahfud
Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar: Beragama yang Bersahabat dan Bersahaja
Buku Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar (DocPribadi/AM)

Beragama mestinya membuat orang lebih tenang, ramah, santun, bijak, bersahabat, serta membawa kebaikan bagi dirinya maupun sesama. 

Namun, ada sebagian kelompok orang yang justru menampilkan sikap beragama yang menyeramkan, garang, penuh kebencian, intoleran, ekstrem, bahkan tak jarang diiringi kekerasan. 

Di buku berjudul Hijrah Jangan Jauh-Jauh Nanti Nyasar (Mojok: 2019), Kalis Mardiasih memotret berbagai fenomena sikap keberagaman umat Islam dewasa ini. Penulis yang aktif menulis topik-topik perempuan dan Islam sehari-hari ini mengajak kita kembali ke wajah keberagamaan yang damai, bersaudara, toleran, dan menciptakan kebaikan pada sesama.

Kebencian dalam beragama bisa menjadi bibit tumbuhnya sikap-sikap radikal dalam diri seseorang. Kalis mencermati munculnya fenomena anak-anak mengaji yang meneriakkan “Islam-Islam Yes, Kafir-Kafir No!”. Kalis heran, mengapa anak sekarang diajari mengeksklusi banyak hal di luar dirinya? Anak-anak mestinya belajar agama dalam suasana riang gembira, dalam hangat persaudaraan, bukan diajari permusuhan dan kebencian. 

Di tulisan berjudul “Berislam Seperti Kanak-Kanak” tersebut, Kalis pun bercerita masa kanak-kanaknya dahulu tentang bagaimana agama tumbuh dalam dirinya bersama kegembiraan. Kegembiraan bermain bersama teman-teman di depan masjid sebelum azan berkumandang, kegembiraan jajan di warung milik seorang janda Kristen di belakang masjid, kegembiraan bersama anak beragama lain menghitung angpau saat Idulfitri, dan sebagainya. Agama disampaikan dengan penalaran inklusif, dalam suasana gembira, sehingga membangun persaudaraan, kebaikan, dan kemudahan dalam kehidupan bersama.

Di tulisan lain berjudul “Bagaimana Radikalisme Diwariskan?”, Kalis berkisah tentang anak kecil di antara kerumunan muslimah bercadar dalam sebuah seminar. Kaus anak itu bertuliskan “We are the enemy of unbelievers”. Bagi Kalis, balita tersebut tanpa sadar telah dikorbankan menjadi martir bagi kisah-kisah kekerasan di masa depan lewat kaus bertuliskan pernyataan permusuhan tersebut. Bisa jadi, di masa depan anak itu akan menjadi relawan pembawa bom karena yakin bahwa apa yang berbeda dengan dirinya merupakan musuh yang harus dihilangkan. 

Kalis melihat, warna paling mencolok dari ideologi kekerasan adalah anti-keberagaman, sehingga sulit bertoleransi. Di tengah kondisi tersebut, ia melihat pentingnya membuka ruang-ruang dialog dan berjumpaan agar banyak orang memiliki kesempatan mengenal perbedaan, sehingga tidak anti-keberagaman. “Masjid-masjid mestinya membuka diri untuk semua jenis manusia. Mimbar-mimbar pengajian di masjid kampus harus menerapkan disiplin akademik, mempertemukan gagasan dengan adil,” tulisnya (hlm 114).

Kesederhanaan

Kalis lebih mencintai Islam lewat teladan-teladan sederhana. Ia juga membayangkan Islam sebagai seuatu yang sederhana, tetapi kesederhanaan yang “ajaib”. Beragama yang membuat orang memiliki semangat hidup, memegang teguh nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, sehingga membawa kebaikan pada sesama. 

Di tulisan berjudul “Islam yang Cukup”, Kalis menggambarkan bagaimana suara azan dari suara sepuh terbata-bata, bangunan madrasah Islam tradisional dengan anak-anak yang belajar dengan ceria, adalah pemandangan yang membuatnya merasa bahwa Islam telah cukup. Beragama terasa teduh, nyaman, damai, dan tenang.

Hal tersebut berbeda jauh dengan keberagamaan yang digaungkan sebagian kelompok orang saat ini. Bahwa Islam harus berupa imperium, menakhlukkan orang lain melalui indoktrinasi bahkan pemaksaan demi “kemenangan Islam” atau “kejayaan Islam”, bahkan harus berupa peperangan kabilah-kabilah seperti masa pra-kenabian. Bagi Kalis, Islam seperti ini bukan Islam yang ada di dalam imajinasinya. 

Kalis menilai, “penakhlukan” adalah narasi zaman purba. “Narasi masa kini adalah hidup berdampingan dan mengupayakan kebaikan bagi generasi selanjutnya: udara, tanah, dan air dengan kualitas yang baik, teknologi yang memudahkan kehidupan, dan sistem persaudaraan yang tidak saling menyerang satu sama lain,” jelasnya (halaman 93-94). 

Buku ini menyadarkan kita kembali akan pentingnya sikap-sikap beragama yang ramah, damai, dan toleran. Nostalgia suasana keberagamaan masa kecil hingga teladan para kiai dan ulama dihadirkan sebagai inspirasi dan refleksi agar kita kembali pada sikap keberagamaan yang lebih tenang, bersahabat, membawa kedamaian serta kebaikan bagi seluruh alam. Wallahu a’lam   

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak