Mikul dhuwur mendhem jero. Ungkapan Jawa ini sangat sesuai untuk menggambarkan kepribadian Mawar, tokoh utama novel ini.
Gadis tomboy ini merupakan anak ketiga dari empat bersaudara—semuanya perempuan. Berbeda dengan ketiga saudaranya yang serba mengedepankan perasaan dan perilaku halus, Mawar adalah pribadi yang lebih mengutamakan nalar, sehingga dia dijuluki nalaria oleh teman-temannya.
Sepeninggal ayahnya, Mawar adalah anak yang paling diandalkan ibu dan saudari-saudarinya. Lebih-lebih saat kondisi keuangan keluarga oleng, nyaris karam; Mawarlah yang berusaha paling keras ke sana-kemari; pontang-panting mencari pinjaman guna menambal hutang.
Mawar pulalah yang kemudian mengorbankan kuliahnya semata agar lebih fokus mengurusi usaha peternakan ayam petelur.
Semua derita dapat ditanggung dan diatasi terutama berkat keteladanan Mawar yang menampakkan kegigihan berusaha, semangat pantang menyerah, dan doa tanpa putus.
Sampai kemudian, ada bencana lain yang rasanya jauh lebih berat karena demikian mencoreng muka dan harga diri keluarga: ialah saat Cempaka—saudari Mawar yang paling cantik dan luwes—berangsur-angsur berperut balon karena dihamili pacarnya yang mendadak hilang dari peredaran. (halaman 121).
Ketika dihadapkan pada pilihan untuk menggugurkan kandungan sebelum kabar buruk itu terkuak lebih jauh ke muka umum, justru Mawarlah yang paling keras menentang. Dia meyakinkan akan risiko yang jauh lebih besar daripada manfaat yang dapat ditangguk seumpama hal tersebut jadi dilaksanakan.
Untuk menenteramkan suasana hati ibunya yang kalut dan lebih-lebih kondisi Cempaka yang mengalami depresi berat akibat kehamilan yang tidak diharapkan itu, Mawar mengusahakan agar kakak keduanya itu tetirah di sebuah pesantren sederhana bernama Baabul Jannah di kaki Gunung Merapi. (halaman 141).
Hidup jauh dari keramaian, tidak kemudian membuat kakak Mawar yang sebelumnya berprofesi sebagai penyiar radio itu tenang. Dia justru semakin gelisah, pemurung, dan enggan bicara seiring perubahan bentuk perutnya. Dia lebih suka mengunci diri dalam kamar—tidur atau melamun.
Akibat kondisi mental yang begitu rentan, keadaan fisik Cempaka pun turut menurun. Kelemahan lahir-batin itu menyebabkan dia terpaksa harus melahirkan lebih awal setelah dia berusaha membunuh bayi dalam perutnya dengan cara menjatuhkan diri di kamar mandi. (halaman 209).
Setelah melahirkan bayi perempuan yang tak dikendakinya itu, Cempaka dapat kembali melenggang ke profesinya semula. Dia sama sekali mengabaikan anak yang diberi nama Yasmin oleh Mawar.
Cempaka benar-benar mengubur masa lalunya, sementara beban tanggung jawab Mawar justru bertambah berat karena keharusan mengasuh anak. Tapi memang sejak awal Mawarlah yang paling antusias merawat anak itu.
Dia bahkan bersikukuh membesarkan Yasmin dalam asuhannya sendiri saat saudari-saudarinya meminta anak itu dimasukkan ke dalam panti asuhan.
Seiring pertumbuhan Yasmin, usaha peternakan ayam petelur Mawar pun ikut berkembang—bahkan semakin pesat karena turut ditopang usaha katering yang dijalankan ibunya.
Di sisi lain, Cempaka yang semakin melupakan keluarganya—karena nyaris tidak pernah pulang atau bertukar kabar, telah pindah ke Jakarta; merintis karir sebagai penyiar televisi. (halaman 227).
Berangsur-angsur Yasmin tumbuh menjadi gadis kecil yang menyenangkan. Dia memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang membanggakan.
Hal tersebut tentu saja membuat Mawar bahagia dan semakin dapat mengabaikan pandangan sumbang orang yang menganggapnya memiliki anak tanpa menikah.
Tapi peluh dan usaha keras Mawar seolah tak berguna saat Cempaka tiba-tiba pulang dan hendak merebut anak yang selama delapan tahun dia campakkan.
Dan untuk meloloskan usahanya itu, Cempaka berusaha membeli kepercayaan Yasmin dengan selalu mengiriminya hadiah-hadiah mahal yang sayangnya tidak membuat gadis kecil itu tertarik.
Perseteruan adik-kakak dalam memperebutkan anak yang semula dilabeli cap anak haram inilah yang membuat buku ini semakin asyik untuk ditelusuri.
Secara umum, isi buku ini mengetengahkan soal pergulatan perempuan-perempuan dalam menghidupi harga diri keluarga.
Dalam hal ini ada dua tokoh yang saling berkebalikan. Cempaka yang dengan tingkah lakunya yang kelewat buruk dan nyaris merubuhkan harga diri keluarga yang sekarat. Sedang Mawar adalah sosok yang berusaha keras menjaga ketegakan harga diri dan martabat keluarga, bahkan pada akhirnya dapat menjunjung tinggi kehormatan keluarga lebih dari sebelumnya.
Di samping itu, Sinta Yudisia—pengarang buku ini—banyak menyisipkan ajaran kebijaksanaan Jawa yang disepadankan dengan Islam dalam paparan dialog maupun narasi.
Menariknya, Sinta menyelusupkan gagasannya itu secara lihai; ialah tanpa kesan sok menggurui atau bahkan sekadar tempelan yang membosankan karena serupa khotbah yang bertele-tele.
Bagi peresensi sendiri, Sinta Yudisia adalah jenis pengarang kurang ajar yang pandai memainkan emosi pembaca sesukanya sendiri. Bahkan Sinta juga piawai mengecoh pembaca, di antaranya lewat fragmen adegan saat Mawar dilamar Ito lewat tangan Rasyid—keduanya adalah sahabat Mawar saat kuliah. (halaman 275-281).
Dalam fragmen tersebut, narasi dan suasana yang dibangun Sinta seolah-olah menunjukkan bahwa Rasyidlah yang melamar Mawar untuk dirinya sendiri, tapi di ujung fragmen barulah ketahuan bahwa yang terjadi adalah bukan demikian!
Sungguh hal kurang ajar yang patut diganjar acungan jempol!