Mashdar Zainal, laki-laki yang suka melihat pohon-pohon besar, menghirup aroma rempah, menyiram tanaman, bermain cat air, menikmati prosa dan puisi ini, telah aktif menulis sejak tahun 2010. Tulisannya, terutama cerita pendek, telah tersiar di berbagai media lokal dan nasional, seperti Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sindo, Horison, Femina, Esquire, dan lain-lain.
Buku Lumpur Tuhan ini merupakan buku Pemenang Sayembara Sastra yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur 2017. Di bagian akhir buku ini, para juri: M. Shoim Anwar, Bramantio, dan Iman Suwongso, menyampaikan bahwa berdasarkan sejumlah pertimbangan: kesatuan bentuk dan isi, eksplorasi tema "Redefinisi Identitas Jawa Timur", dan keterampilan bercerita dan berbahasa Indonesia, dari 33 manuskrip kumpulan cerpen yang lolos persyaratan administrasi tanpa disertai nama pengarangnya, memutuskan bahwa manuskrip yang paling memenuhi kriteria yang telah ditetapkan adalah manuskrip berjudul Lumpur Tuhan dan 12 Cerita Lainnya.
Buku ini terdiri atas cerpen-cerpen yang berisi eksplorasi identitas Jawa Timur dengan cara tidak ingar-bingar. Ia tidak lagi berfokus pada penghadiran kejawatimuran yang kasat mata, namun lebih pada rasa dan nuansa yang terasa akrab. Tokoh-tokohnya adalah manusia yang tampak naif dalam segala tekadnya, manusia yang ndableg sekaligus bisa membuat orang lain iri dan berharap memiliki kendablegan yang dimiliki manusia-manusia itu.
Cerpen berjudul Pohon Randu dan Layang-layang mengawali cerita-cerita di dalam buku ini. Cerpen tersebut mengisahkan dua orang bocah laki-laki, adik-kakak, yang gelisah menunggui ibunya menanak, namun nasinya sedari pagi tak matang-matang. Perutnya bertabuh gendang. Akhirnya si ibu menyuruh si Abang untuk membawa adiknya main layang-layang di lapangan sambil menunggu nasi matang.
Tak berlangsung lama, saat bermain, layang-layang milik si adik tersangkut ke pohon randu. Seketika si adiknya menangis dan merengek ke abangnya agar layang-layang itu segera diambil. Si abang yang pincang pun berusaha memanjat pohon randu, sementara adiknya yang terus menangis menungguinya di bawah.
Seperti ada yang membisiki, ia memanjat lebih tinggi lagi. Tangannya melingkar di dahan, erat-erat, seperti memeluk guling. Di sini indah sekali. Di sini sejuk sekali. Di sini nyaman sekali (hlm. 9).
Lalu si abang memejamkan mata. Membentangkan kedua tangannya. Membayangkan dirinya menjadi layang-layang yang terbang ke langit lapang. Ia melupakan lapar yang menendang-nendang. Ia melupakan nasi yang tak matang-matang. Ia melupakan kakinya yang pincang. Ia melupakan bapaknya yang tak pulang-pulang. Ia terbang seperti layang-layang. Bahkan, ketika cabang yang menumpu tubuhnya patah dan tumbang, ia tetap masih terpejam. Ia terperosok, terpental dan tubuhnya menghantam dahan. Adiknya melolong, melepas jeritan.
Membaca kumpulan cerpen ini sungguh seperti membaca percikan-percikan Jawa Timur. Ruang, waktu, bahasa maupun pemikiran dalam cerpen-cerpen ini telah melakukan redefinisi Jawa Timur dengan caranya sendiri. Bahasanya renyah dan alurnya runtut. Asik sekali.