Mengenal Supriyadi, Anggota PETA yang Memilih Berontak pada Jepang

Ayu Nabila | Budi Prathama
Mengenal Supriyadi, Anggota PETA yang Memilih Berontak pada Jepang
Foto Supriyadi. (Wikipedia)

Pemilik nama Supriyadi mungkin sedikit orang yang mengenalnya sebagai pahlawan bangsa untuk generasi hari ini. Kiprah Supriyadi juga amat penting untuk mengantarkan kemerdekaan Indonesia, khususnya pada masa pendudukan Jepang. Supriyadi merupakan tokoh Pembela Tanah Air (PETA) yang akhirnya memilih melakukan pemberontakan berdarah kepada Jepang pada bulan Februari 1945 di Blitar.

Pemberontakannya itu bukan tanpa alasan, melainkan karena perjuangan Supriyadi yang tidak tega melihat saudara sebangsanya dipekerjakan secara paksa dalam sistem romusha. Walaupun waktu itu, Supriyadi ditugaskan oleh Jepang untuk mengawasi pekerjaan para romusha.

Seperti buku yang ditulis Johan Prasetya "Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan," Supriyadi lahir pada tanggal 13 April 1923 di Trenggalek. Nama kecilnya adalah Priyambodo yang dikenal sebagai anak pemberani dan paling tidak bisa melihat penindasan.

Masa pendidikan Supriyadi dapat bersekolah di Europese Lagere School (ELS), kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO. Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO, akhirnya Supriyadi meneruskan sekolah Pamongpraja Opleiding School Voor Indlandse Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, sampai Jepang datang menggantikan penjajahan Belanda.

Selanjutnya Supriyadi bersekolah di sekolah menengah tinggi dan bisa mengikuti kesatuan semi militer Jepang, Barisan Pemuda (Seinendan) di Tangerang. Hingga akhirnya, Supriyadi pun terpilih sebagai anggota Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk oleh Jepang pada tanggal 3 Oktober 1943.

Setelah selesainya pendidikan Supriyadi di PETA, Jepang menilai bahwa Supriyadi layak menjadi perwira instruktur dengan tugas membentuk tentara-tentara pribumi sebagai kader inti PETA. Supriyadi pun ditempatkan di Peleton I Kompi III di Blitar dengan pangkat shodancho (Komandan Pelopor), serta ditugaskan untuk mengawasi para pekerja romusha.

Jika ditelisik, sistem kerja romusha justru tidak berpihak kepada rakyat Indonesia, Jepang melakukan sistem kerja paksa untuk membangun jalan raya, jembatan, lapangan terbang, pelabuhan, benteng pertahanan, dan prasarana lainnya demi kepentingan Jepang. Sehingga pada kondisi itu, para pekerja romusha tidak mendapatkan upah dan makanannya pun sangat dibatasi. Banyak pekerja romusha yang kelaparan dan menderita sakit, hingga tidak sedikit juga ada yang meninggal dunia.

Kondisi itu jelas bertentangan dengan hati nurani Supriyadi, kepribadian Supriyadi sejak kecil yang prihatin melihat orang-orang tertindas membuat hatinya semakin hancur. Hingga akhirnya, ia pun tidak tahan melihat penderitaan para pekerja romusha yang dilakukan oleh Jepang.

Suatu waktu, ketika Soekarno berkunjung ke rumah keluarganya di Blitar, Supriyadi memimpin tentara PETA menyampaikan keinginannya untuk melakukan pemberontakan kepada tentara Jepang. Soekarno hanya menyampaikan bahwa setiap perbuatan tentu ada konsekuensinya yang pasti diterima. Hingga akhirnya, Supriyadi pun mampu meyakinkan bahwa pemberontakannya akan berhasil.

Pada 5 Februari 1945, Supriyadi memimpin dan berencana melakukan pemberontakan. Di mana, ia akan menyerang Jepang pada saat melakukan latihan bersama batalion PETA di Jawa Timur, di Tuban. Akan tetapi, rencananya tidak sesuai karena Jepang tiba-tiba menghentikan proses jalannya latihan.

Rencana pemberontakannya pun kembali digelorakan. Pada 14 Februari 1945, Supriyadi memimpin pemberontakan kepada Jepang dengan tragedi berdarah. Banyak korban jiwa yang berjatuhan dari pihak Jepang. Akan tetapi, ternyata Jepang berhasil melumpuhkan pemberontakan itu dan memberikan hukuman kepada para tersangka.

Di antara pemberontak itu, ada enam orang yang dihukum mati, tiga orang akan dihukum seumur hidup, dan lainnya mendapat hukuman penjara 3-15 tahun. Tetapi anehnya, Supriyadi sebagai pemimpin pemberontakan justru tidak termasuk dalam hukuman tersebut.

Setelah Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, pemerintah RI mengumumkan bahwa Supriyadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Negara Kabinet I pada 6 Oktober 1945. Namun yang terjadi, Supriyadi tak kunjung datang.

Sejak saat itu, jejak Supriyadi menghilang dan kematiannya pun menjadi misteri. Tak ada yang tahu, apakah Supriyadi berhasil lolos saat pemberontakan di PETA, atau memang sengaja disembunyikan oleh Jepang tanpa proses pengadilan.

Referensi: Prasetya, Johan. “Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan.” Penerbit Saufa. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak