Ulasan Novel Bumi Manusia: Kolonialisme dan Romantisme Abad ke-19

Ayu Nabila | Husna Hisaba
Ulasan Novel Bumi Manusia: Kolonialisme dan Romantisme Abad ke-19
Novel Bumi Manusia (DocPribadi/ Husna Hisaba)

Novel berjudul Bumi Manusia merupakan novel pertama dari Roman Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer atau akrab dengan sapaan Pram, lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Pram merupakan seorang penulis, sastrawan, dan kritikus sastra yang pernah masuk nominasi sebagai peraih nobel perdamaian. Menariknya, ia menghabiskan separuh hidupnya di penjara mulai dari era Kolonial, Orde Lama, hingga Orde Baru.

Di zaman Orde Baru, ia ditahan sebagai tahanan politik dan diasingkan ke Pulau Buru pada tahun 1969 sampai tahun 1979. Meskipun banyak menghabiskan waktu di dalam penjara, hal itu tidak membuat semangat menulisnya padam, ia menghabiskan waktunya di penjara untuk menulis yang dianggapnya sebagai kewajiban atau tugas pribadi dan nasional.

Ia menghasilkan setidaknya 50 karya dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing, termasuk novel Bumi Manusia yang sangat populer dan fenomenal ini. Novel yang mengambil latar kehidupan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menyuguhkan gambaran tentang kolonialisme dan romantisme masa itu yang berdarah-darah dan penuh perjuangan.

Di era ini juga Pram menggambarkan dalam novelnya tentang awal-mula lahirnya pergerakan nasional yang menumbuhkan kesadaran akan kecintaan terhadap jati diri bangsa juga sebuah proses permulaan terbentuknya bangsa modern yang berpola pikir maju, berkembang, dan bebas dari segala bentuk penjajahan pikiran.

Minke, tokoh utama dalam novel Bumi Manusia mengalami kegelisahan dan berada pada posisi yang dilematis, ia merupakan anak seorang priyayi yang kental dengan budaya, tradisi, dan nilai-nilai Jawa, di sisi lain ia bersekolah di sekolah yang didirikan oleh Belanda yakni HBS (Hoogere Burgerschool), membuatnya jatuh cinta pada peradaban Eropa yang menjadi simbol kemajuan pengetahuan dan peradaban.

Novel tersebut menggambarkan dengan sangat ciamik bagaimana pergolakan batin dan pikiran seorang Minke untuk lepas dari belenggu kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka sebagaimana orang-orang Eropa dengan budaya dan peradaban yang modern.

Kolonialisme dalam novel ini dapat dilihat dari perbedaan kelas antara orang-orang pribumi dan non-pribumi. Belanda atau Eropa menduduki kelas tertinggi dalam sebuah tatanan sosial dan hukum, sedangkan pribumi menduduki kelas terendah dan dianggap sebagai bangsa yang tertinggal serta tidak tersentuh oleh kemajuan ilmu pengetahuan Barat. Hal ini membuat pribumi mengalami ketidakadilan, ketertindasan, dan berbagai bentuk diskriminatif lainnya.

Pram adalah sastrawan Indonesia yang berhasil menggambarkan dengan sangat baik keadaan Indonesia (pada saat itu bernama Hindia-Belanda) di era Kolonial, kita yang membaca novel ini dapat merasakan dan seolah berada di dalam cerita tersebut, menyaksikan keprihatinan yang sangat mendalam terhadap bangsa Indonesia padan zaman Kolonialisme.

Titik konflik bermula saat Minke bertemu dengan Annelies yang memilih untuk menjadi seorang Jawa seperti ibunya Nyai Ontosoroh ketimbang jadi seorang Eropa. Bertemunya Minke dengan Nyai Ontosoroh yang seorang gundik membuatnya heran, ia tidak seperti gundik lainnya, Nyai Ontosoroh, meskipun tidak menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda, ia merupakan sosok yang terpelajar, wanita pribumi yang bebas seperti wanita Eropa.

Sosok Nyai Ontosoroh juga yang nantinya menjadi mentor dalam hidup Minke untuk menentang segala bentuk ketidakadilan yang menimpa orang-orang pribumi. Minke menjadikan aktivitas menulis sebagai alat perjuangan untuk membela hak asasi orang-orang pribumi dan menentang segala bentuk Kolonialisme yang menindas bangsa pribumi dengan caranya sendiri.

Jalinan asmara antara Minke dan Annelies tidaklah berjalan mulus, mereka harus menghadapi berbagai masalah, Minke harus memperjuangkan cintanya, melawan hukum Belanda yang diskriminatif terhadap orang-orang pribumi, perselisihan antara hukum Belanda dan Indonesia menjadi konflik hubungan Minke dan Annelies, namun pada akhirnya Annelies dibawa paksa ke Netherland, setelah menikah enam bulan dengan Minke.

“Kita kalah, Ma,” bisikku.“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Begitulah percakapan antara Minke dan Nyai Ontosoroh di akhir penutup bab dari novel Bumi Manusia yang membuat pembaca mengalami pergolakan emosi saat membacanya. Novel ini merupakan mahakarya terbaik bagi bangsa Indonesia yang sangat dianjurkan untuk membacanya guna memupuk kecintaan kita terhadap jati diri bangsa sebagai bangsa Indonesia.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak