Sejak resmi berdiri pada tahun 1945 lalu, TNI telah banyak menggunakan beragam alutsisa dan persenjataan yang digunakan untuk mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyak alutsista tersebut yang tentunya tidak sedikit yang telah dipensiunkan karena faktor usia yang kian menua dan beberapa faktor lainnya. Namun, adapula beberapa alutsista milik TNI yang hingga kini masih dioperasikan dan telah berusia puluhan tahun. Salah satu alutsista tersebut adalah ranpur BTR-50 buatan Uni Soviet.
Didatangkan Pada Dekade 1960-an
Ranpur BTR-50 atau yang memiliki nama “Bronetransporter-50” adalah ranpur angkut personil atau APC (Armoured Personel Carrier) buatan Uni Soviet. Melansir dari situs militarytoday.com, ranpur BTR-50 ini didesain oleh pabrikan Uni Soviet sejak dekade 1950-an dan masuk dinas layanan aktif di periode yang sama. Ranpur ini menjadi salah satu kendaraan tempur dengan masa operasional tertua yang dioperasikan oleh TNI hingga saat ini.
Melansir dari situs indomiliter.com, kisah kedatangan ranpur BTR-50 ini dimulai dalam kampanye operasi Trikora guna merebut Irian Barat dari tangan Belanda di tahun 1962. Petinggi militer kala itu mendapatkan bantuan dari Uni Soviet dengan membeli sejumlah persenjataan blok timur, salah satunya adalah ranpur BTR-50. Ranpur yang memiliki kemampuan amfibi ini dirasa cocok untuk dioperasikan di iklim dan kondisi geografis Indonesia yang kepulauan.
Ranpur ini sendiri mulai berdatangan pada tahun 1962 bersamaan dengan tank amfbi PT-76 yang juga dibeli dari Uni Soviet. Korps KKO-ALRI atau kini dikenal dengan nama Marini TNI-AL menjadi operator utama ranpur BTR-50 di tubuh TNI. Menurut data dari indomiliter.com, ranpur BTR-50 yang datang ke Indonesia berjumlah 82 unit, meskipun adapula yang menyebutkan lebih dari 100 unit. Ranpur ini sendiri direncanakan sebagai ranpur pendarat pasukan di tubuh TNI-AL.
Mengenyam Banyak Medan Operasi Tempur
Melansir dari situs militarytoday.com, ranpur BTR-50 dalam dinas militer di Indonesia merupakan salah satu alutsista TNI yang kenyang dalam beragam operasi tempur. Mulai dari kampanye operasi Trikora tahun 1962, Operasi Dwikora tahun 1964-165, Operasi Seroja Timor-Timur tahun 1975, Operasi militer di Aceh hingga juga operasi militer di Papua. Bahkan, hingga saat ini ranpur BTR-50 masih digunakan oleh TNI-AL meskipun jumlahnya diprediksi hanya sekitar 20-30 unit saja yang tersisa.
Melansir dari situs indomiliter.com, ranpur ini memiliki kapasitas angkut hingga 23 personil termasuk operator kendaraan yang berjumlah 3 orang. ranpur ini ditenagai oleh mesin diesel yang mampu membuat kendaraan dengan berat sekitar 15 ton ini melaju dengan kecepatan 44 km/jam di darat dan 11 km/jam di air. Untuk sistem persenjataannya, ranpur ini dilengkapi dengan senapan mesin kaliber 12.7 mm dan 7.62 mm.
Guna memenuhi tuntuntan zaman, BTR-50 yang dioperasikan oleh TNI-AL kini telah dimodifikasi dan dikenal dengan nama BTR-50PM (Pallawa Modification). Modifikasin ini meliputi penggantian mesin diesel terbaru, penggantian sistem komunikasi dan juga persenjataan yang lebih baru. Dari sisi persenjataan, senapan mesin DSHK buatan Uni Soviet dengan kaliber 12.7 mm digantikan dengan senapan mesin FN-MAG lisensi PT. Pindad dengan kaliber 7.62 mm yang berjumlah 2 buah. Dengan adanya modiifikasi ini, diharapkan BTR-50 dapat dioperasikan hingga tahun 2030 mendatang.
Sempat Muncul Prototipe Pengembangan BTR-50
Pada tahun 2011 silam, sempat muncul prototipe ranpur baru yang menggunakan badan dari ranpur BTR-50P buatan Uni Soviet. Melansir dari situs indomiliter.com, ranpur ini dikenal dengan nama BTR-58 karya dari perusahaan swasta PT. Wirajayahadi Bahari. Ranpur ini merupakan pengembangan dari BTR-50 buatan Uni Soviet namun disesuaikan dengan sistem dari barat.
Salah satu contohnya adalah penggunaan mesin diesel buatan Jerman yang diklaim mampu membuat ranpur ini mencapai kecepatan hingga 70 km/jam di darat dan 15 km/jam di air. Dari sisi persenjataan, ranpur ini masih mengusung senapan mesin 7.62 mm sebagai persenjataan utama. Namun, turret persenjataan tersebut dapat dipasang pula dengan pelontar granat otomatis 30 mm. ranpur ini juga diklaim dapat memberikan perlindungan yang lebih baik daripada BTR-50 standar. Akan tetapi, ranpur ini gagal masuk ke jalur produksi massal karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan TNI-AL saat itu.