Upaya Menyikapi Fenomena Kekerasan Verbal di Berbagai Media Sosial

Hikmawan Firdaus | Sam Edy
Upaya Menyikapi Fenomena Kekerasan Verbal di Berbagai Media Sosial
Gambar Buku ‘Fenomena Kekerasan Verbal dalam Bahasa Instagram Menurut Teori Tindak Tutur (Speech Act)’.[iPusnas]

Teknologi yang mengalami perkembangan yang sangat pesat membuat kita dimanjakan oleh beragam fasilitas. Keberadaan internet dan ponsel pintar atau smartphone misalnya, sangat membantu beragam aktivitas kita menjadi lebih mudah.

Namun sayangnya, kecanggihan teknologi kerap tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan sumber daya manusia kita. Lihat saja, saat ini banyak orang yang nekat melakukan beragam cara agar viral di media sosial. Hal-hal konyol mereka tampakkan demi meraih pujian atau mendapat banyak ‘like’.

Yang miris adalah ketika orang-orang melakukan aksi kekerasan dan kemudian dianggap wajar. Kekerasan tersebut tak hanya dilakukan dalam dunia nyata, tetapi melalui dunia maya lewat beragam media sosial. 

Komentar-komentar kasar yang bertebaran di media sosial adalah bukti nyata bahwa kekerasan dalam bentuk verbal kian marak saja. Padahal, kekerasan verbal termasuk jenis kekerasan yang berdampak buruk bagi psikis korban. 

Ada penjelasan menarik yang saya temukan dalam buku berjudul ‘Fenomena Kekerasan Verbal dalam Bahasa Instagram Menurut Teori Tindak Tutur (Speech Act)’ karya Hj. Iswah Adriana, S.Ag, M.Pd. terbitan Literasi Nusantara (2020). 

Dalam buku yang merupakan hasil penelitian tersebut diungkap bahwa kekerasan verbal di media sosial lebih mudah dilakukan daripada kekerasan konvensional, karena si pelaku tidak perlu berhadapan muka dengan orang lain yang menjadi targetnya. Mereka bisa mengatakan hal-hal yang buruk dan dengan mudah mengintimidasi korbannya karena mereka berada di belakang layar komputer atau menatap layar telepon seluler tanpa harus melihat akibat yang ditimbulkan pada diri korban.

Di Indonesia sendiri pemahaman tentang kekerasan verbal di media sosial masih sangat minim. Menurut survey didapati bahwa Indonesia masuk dalam daftar 2 besar negara dengan kasus bullying terbesar dan cenderung dilakukan media sosial (hlm. 14).

Facebook dan Instagram adalah termasuk media sosial yang kerap dijadikan sebagai media untuk melakukan aksi kekerasan verbal. Contohnya ketika ada suatu kejadian yang menuai kontroversial, orang begitu mudahkan menuliskan komentar-komentar kasar, bahkan nama-nama binatang pun tak jarang mewarnai komentar tersebut.

Instagram sejatinya merupakan platform untuk berbagi konten visual, bukan teks. Meski demikian, komentar-komentar yang merespons konten visual pengguna agaknya banyak yang tergolong sebagai cyberbullying. Cyberbullying yang dimaksud dalam hal ini mencakup komentar negatif pada postingan tertentu, pesan personal tak bersahabat, serta menyebarkan postingan atau profil akun media sosial tertentu dengan mengolok-olok (hlm. 2).

Di sinilah pentingnya kita untuk berusaha bersikap bijak saat bermain media sosial. Menahan jari untuk tidak ikut campur urusan orang, atau menulis komentar negatif yang mengandung kekerasan, ancaman, dan penghakiman, adalah hal yang harus terus kita upayakan. 

Semoga terbitnya buku ini dapat membantu menyadarkan banyak orang yang selama ini gemar melakukan kekerasan verbal di media sosial. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak