Keseimbangan Antara Naluri Alamiah dan Nilai Ketuhanan dalam Antologi Puisi 'Penyair Jalang'

Ayu Nabila | Indah Wati
Keseimbangan Antara Naluri Alamiah dan Nilai Ketuhanan dalam Antologi Puisi 'Penyair Jalang'
Antologi Puisi Penyair Jalang karya Husein Widiya (DocPribadi/penulis)

Apabila puisi umumnya identik dengan diksi-diksi indah yang mendayu-dayu, dengan aturan tertentu terkait bait dan baris. Namun, Husein Widiya berani membuang itu semua dan memberikan kesegaran baru di dalam puisi-puisinya.

Husein Widiya, penyair indi asal Yogyakarta yang mengaku mencintai kebebasan dan kemudian dituangkan dalam antologi puisinya berjudul “Penyair Jalang”.  

Buku kumpulan puisi yang terbit pada tahun 2018 silam merupakan wujud dari ketidaksukaannya pada aturan-aturan yang terikat, termasuk aturan dalam menulis.  

Dalam karya-karyanya, Husein Widiya menyandingkan dua hal yang berbeda, antara yang bersih dan yang kotor, dan membuang batas di antara keduanya.

Kumpulan puisinya yang tampak ingin menyampaikan mengenai moral kehidupan, ketuhanan, dan naluri batiniah yang dekat dengan manusia.

Mengenai manusia dengan segala nafsunya serta hal-hal yang bersifat manusiawi lainnya, yang dipandang kotor dan disandingkan dengan nilai-nilai ketuhanan yang bersifat agamis.

Kumpulan puisi dalam buku Penyair Jalang, seolah mengajak pembaca untuk selalu mengingat Tuhan dan ajaran-ajaran kebaikan agama.  

Uniknya, Husein Widiya memiliki cara sendiri dalam mengemas hal-hal tersebut ke dalam puisinya hingga menciptakan kesan mesum, jorok, ngeres, dan kesan buruk lainnya.

Kedekatan antara Seksualitas dengan Religiusitas

Kumpulan sajak dalam Penyair Jalang menampakkan kedekatan antara dua hal yang dipersepsikan berbeda. Satu dipadang suci dan bersih, sedangkan satunya lagi dipandang kotor.

Seksualitas, yang sebetulnya merupakan sifat manusiawi, tetapi sering kali mendapat anggapan jorok, seolah hanya melibatkan hawa nafsu saja.

Padahal seksualitas tidak hanya bisa memberikan rasa kenikmatan duniawi bagi manusia, ada hal-hal lain di luar itu yang perlu dapat diresapi.

Penyair Jalang menyadarkan bahwa di samping rasa nikmat, ada rasa syukur terhadap Tuhan yang seharusnya dapat manusia rasakan.  

Bagaimana Tuhan dengan segala kebaikannya menciptakan manusia bersama kenikmatan-kenikmatan yang membersamai, termasuk hal-hal dalam konteks seksualitas. 

Dengan judul-judul erotis seperti Buah Dada, Mimpi Basah, Masturbasi, Penis, dsb, dan sajak-sajak yang terkesan ‘nakal’, puisi-puisi Widiya Husein justru seakan mengajak pembaca untuk selalu mengingat Tuhan. Seperti pada salah satu puisinya berikut ini.

Tak ada buah yang lebih ranum dari yang tumbuh di dadamu itu, kekasih. Tentu yang menanamnya jauh lebih mempesona darimu (Puisi Buah Dada dalam Penyair Jalang,  hlm. 103)

Pada dasarnya puisi tersebut menggambarkan bentuk kekaguman terhadap keindahan salah satu tubuh perempuan, yakni buah dada. Namun, di atas buah dada rupanya masih ada yang jauh lebih indah, yang tentu saja ialah Tuhan sebagai penciptanya. 

Sajak-Sajak Keagamaan

Sebagai buku antologi puisi yang dikenal penuh dengan hal-hal dewasa dan vulgar, siapa sangka di dalam Penyair Jalang memuat puisi-puisi keagamaan, kekaguman terhadap nabi, dan Tuhan sebagai pencipta alam.

Puisi-puisi tentang kenabian dengan judul nama-nama nabi, seperti Muhammad, Yusuf, dan Isa juga tersematkan di dalamnya.

Hal tersebut menjadi menarik karena di antara puisi-puisi yang terkesan nakal dan ngeres, ada sebuah keseimbangan sebagai manusia yang tetap memiliki sisi religius. Bagaimana manusia yang kecil, yang terkadang senang membuat dosa dan doa sekaligus, lebih mencintai hamba-Nya daripada penciptanya. 

Dari puisi-puisi keagamaan yang tertuang dalam Penyair Jalang, tampak bahwa Husein Widiya sebetulnya merupakan seorang muslim.

Namun, Widiya Husein tidak saja menyinggung agama yang dianutnya. Ia juga memposisikan kedamaian di antara penganut agama satu dengan yang lain, seperti pada puisi berikut ini.

“Tapi, Isa tidak disalib!”, katamu. Persetan disalib atau tidak, terluka atau naik ke surga, Isa tetaplah perlambang cinta (Puisi Isa dalam Penyair Jalang, hlm. 158)

Seperti  yang telah diketahui bahwa terdapat dua kisah yang berbeda mengenai Isa di dua agama, yang tidak jarang menjadi perdebatan di antara kedua umatnya.

Namun, melalui puisi berjudul Isa, Husein Widiya menepiskan hal itu dan menengahinya bahwa Isa adalah perlambang cinta, cinta yang membuat kedamaian, yang tentunya berlaku pula untuk beragam umat beragama.

Penyair Jalang memberi pengalaman baru. Pembaca seakan dilepas seliar-liarnya berkelana menikmati sajak-sajak vulgar, kotor, dan jorok, tatapi memang itulah yang terjadi dalam naluri manusia.

Setelahnya, pembaca disadarkan atas kehadiran Tuhan sebagai pencipta manusia termasuk seksualitas yang dianggap kotor tetapi justru merupakan salah satu anugerah indah yang dapat dinikmati oleh manusia.

Meskipun begitu, buku antologi puisi Penyair Jalang ini baiknya hanya dibaca oleh pembaca dewasa yang telah cukup usia. Selamat membaca!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak