Ulasan Novel 'The Burning God', Akhir Cerita dari Tragedi Perang Opium

Hayuning Ratri Hapsari | Akramunnisa Amir
Ulasan Novel 'The Burning God', Akhir Cerita dari Tragedi Perang Opium
Sampul novel The Burning God (Gramedia Digital)

The Burning God atau Sang Dewi Api adalah seri terakhir dari trilogi The Poppy War yang ditulis oleh R.F. Kuang. Novel seri ini menceritakan tentang gambaran konflik Perang Opium yang memang pernah terjadi antara Inggris dan Tiongkok, dengan tambahan unsur fantasi dan supranatural.

Secara umum, novel ini mendeskripsikan suasana perang, dampak psikologis, serta sudut pandang dari tokoh utama yang menjadi otak dari peperangan tersebut.

Mungkin kadang kita pernah berpikir, kenapa sih peperangan harus terjadi? Apa tidak ada pilihan yang lebih baik dibandingkan menumpahkan darah banyak orang?

Nah di novel ini, penulis berhasil memberikan gambaran tentang apa yang ada di pikiran orang-orang yang menjadi dalang dari peperangan itu sendiri.

Sebagaimana dialami oleh Rin, yang merupakan tokoh utama dalam novel ini. Ia mendapat julukan sebagai Sang Dewi Api, karena kemampuannya sebagai syaman yang bisa mengeluarkan api dari tubuhnya.

Rin tahu jika peperangan adalah pilihan yang buruk. Ia bisa melihat bagaimana tragisnya ketika seluruh anggota klannya tewas akibat genosida.

Tapi pada akhirnya ia juga memilih untuk "membakar" segala sesuatu yang menghambat tujuannya untuk mempertahankan tanah airnya sendiri. 

Tentu saja ada harga yang harus dibayar dari perbuatannya. Ribuan nyawa serta kerugian material yang tidak terhitung menjadi imbas dari peperangan yang tidak berujung.

Ketika membaca bagaimana gejolak dari terjadinya Perang Opium, intrik-intrik di dalamnya, serta latar belakang dari tokoh sentral, dapat disimpulkan bahwa perang ini sebenarnya hanyalah bentuk ego dari Rin dan para pengikutnya.  

Rin merasa dia perlu mempertahankan tanah airnya tidak peduli dia harus melenyapkan nyawa yang tidak berdosa. Awalnya ia merasa tidak tega, namun ketika melihat manusia yang akan menjadi target pembunuhannya alih-alih memandangnya sebagai suatu entitas yang hidup, ia melihatnya hanyalah sebuah objek yang tidak apa-apa jika dilenyapkan.  

Tapi memang saya tidak menyalahkan Rin sepenuhnya ketika begitu gigih dalam mempertahankan tanah airnya yang terjajah.

Kita mungkin juga akan berpikir demikian, atas nama nasionalisme. Namun dalam buku ini, penulis berusaha untuk meyakinkan pembaca, bahwa ada kalanya "menyerah" adalah opsi terbaik di antara dua hal yang buruk ketika sebuah negara dihadapkan pada genosida atau menyerahkan sebuah negeri agar dikelola oleh orang asing. 

Sebagaimana Kekaisaran Nikan dengan seluruh keterbelakangannya. Rin sulit mempercayai bahwa masyarakat maupun kehidupan yang ada di negaranya memang terbelakang dibanding Republik Hesperia yang menjajahnya.

Kehadiran Republik Hesperia yang mewarnai Kekaisaran Nikan dengan kebudayaan yang lebih maju dan beradab dianggap sebagai akulturasi yang merusak kemurnian Nikan.

Padahal meskipun mereka seakan-akan terjajah, tapi secara tidak langsung, mereka menyerap hal-hal positif yang ada di negara yang menjajahnya itu. 

Pada akhirnya perang sebenarnya hanyalah pertarungan ideologi dari segelintir orang. 

Ketika membaca buku ini, saya tidak henti-hentinya bergumam, kenapa sih tidak damai saja? Duduk bersama, ambil jalan tengah, tanpa mengecilkan nyawa dari seorang rakyat pun.  

Nah bagi kamu yang tertarik dengan novel genre dark fantasy seperti ini, membaca The Burning God bisa menjadi pilihan. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak