Zaman dulu, ketika teman atau kerabat melangsungkan pernikahan, kita akan sibuk mencari dan memilih-milih kado untuk dibawa ke acara resepsi pernikahan tersebut. Isi kado pernikahan orang-orang zaman dulu bermacam-macam, misalnya jam dinding, gelas, piring, album foto, dan sebagainya.
Kini, ketika zaman semakin maju dan berkembang pesat, memberikan kado kepada orang-orang yang menghelat pesta pernikahan sepertinya sudah mulai ditinggalkan. Mungkin masih ada yang datang membawa kado tapi bisa dihitung dengan jari.
Saat ini, kita bisa mengganti kado pernikahan dengan amplop berisi uang, bahkan ada juga amplop versi digital. Kita tinggal mentransfer sejumlah uang pada nomor rekening bank yang tertera dalam surat undangan digital yang dikirimkan oleh si pengundang. Terkesan simpel, meski menurut pandangan saya agak kurang pantas karena kesannya seperti undangan meminta sumbangan hehehe.
Bicara tentang kado pernikahan, ada sebuah kisah menarik yang bisa kita baca dalam buku berjudul ‘Kado Istimewa’. Buku ini berisi cerpen-cerpen pilihan koran Kompas tahun 1992. Diterbitkan oleh penerbit Kompas, Jakarta (2016).
Dari sekian banyak cerpen, salah satu cerpen yang menarik disimak berjudul ‘Kado Istimewa’ karya Jujur Prananto. Mengisahkan tentang perempuan sepuh bernama Bu Kustiyah yang bertekad akan menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi, meski Bu Kustiyah tidak mendapat undangan darinya.
Jadi ceritanya, dulu Pak Hargi adalah atasan Bu Kustiyah. Menurut cerita Bu Kustiyah, Pak Hargi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk di antara yang berjuang mendirikan negeri ini. “Walaupun saya cuma bekerja di dapur umum, tapi saya merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi,” tutur Bu Kustiyah.
Namun begitulah, setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kustiyah hanya sesekali saja mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta. Lalu tumbangnya rezim Orla dan bangkitnya Orde Baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat (hlm. 2).
Singkat cerita, setelah naik kereta ekonomi jurusan Jakarta dan dengan dibantu oleh anak bersama menantunya, akhirnya Bu Kustiyah berhasil menghadiri pesta pernikahan putra Pak Hargi yang begitu mewah di sebuah hotel.
Setelah berhari-hari mencari kado, akhirnya dipilihlah sebuah kado yang menurut Bu Kustiyah istimewa dan bermakna. Berupa masakah tiwul yang menurutnya akan mengingatkan kisah masa-masa perjuangan Pak Gi di masa lalu. Sayangnya, Pak Hargi rupanya telah berubah. Dia hanya mengucap kata-kata singkat saat bertemu Bu Kustiyah.
Dari kisah Bu Kustiyah dan Pak Hargi, kita bisa mengambil pelajaran berharga: “jangan sampai saat kita sudah memiliki jabatan tinggi, lantas kita pura-pura lupa atau tak mau lagi kenal dengan orang-orang yang pernah berjasa dalam kehidupan kita.”
Pesan penting lainnya yang bisa dipetik dalam kisah tersebut, bahwa ada satu hal yang tak kalah penting dari perang melawan penjajahan. Yakni perjuangan melawan kemiskinan dan kebodohan.
Cerpen-cerpen lainnya yang menarik disimak dalam buku ini antara lain, ‘Penipu yang Keempat’ karya Ahmad Tohari. Cerpen ini unik dan asyik, memotret fenomena para penipu yang biasa datang ke rumah dengan dalih misalnya meminta sumbangan untuk anak-anak yatim atau pura-pura sedang butuh uang untuk ongkos pulang karena anaknya sedang sakit, dan sebagainya.
Kisah dalam cerpen ‘Penipu yang Keempat’ ini dapat menjadi bahan pelajaran bagi kita agar lebih hati-hati ketika berhadapan dengan orang asing yang bertamu ke rumah kita. Semoga ulasan singkat ini bermanfaat.