Film The Great Gatsby yang disutradarai oleh Baz Luhrmann, mempersembahkan sebuah ‘kilau sinematik’ yang sungguh memukau. Film ini tayang pertama kali di bioskop Indonesia pada 17 Mei 2013, yang mana, mengadaptasi kisah klasik F. Scott Fitzgerald ke dalam dunia visual yang menggoda.
Film ini menghidupkan kembali era Roaring Twenties dengan keindahan dan ketajaman konfliknya, dengan membiarkan penonton terperangkap dalam gemerlap kemewahan dan ketegangan sosial di masa itu.
Film The Great Gatsby, kisahnya berpusat pada Nick Carraway (diperankan oleh Tobey Maguire), seorang penulis yang baru saja pindah ke Long Island. Nick terpikat oleh pesona dan kekayaan tetangganya, Jay Gatsby (diperankan oleh Leonardo DiCaprio).
Gatsby, seorang miliuner misterius, kerap mengadakan pesta megah di kediamannya. Namun, di balik kehidupan glamor itu, Gatsby merindukan cinta pertamanya, Daisy Buchanan (diperankan oleh Carey Mulligan).
Daisy, yang kini sudah menikah dengan Tom Buchanan (diperankan oleh Joel Edgerton), rupanya tinggal di seberang teluk dari kawasan rumah Gatsby.
Ketika Nick mempertemukan Gatsby dan Daisy, kisah cinta keduanya yang terpendam kembali meletup. Gatsby, dengan segala kekayaannya, berusaha merebut kembali hati Daisy. Namun, hubungan mereka diuji oleh rahasia-rahasia gelap dan konflik sosial yang melanda masyarakat kelas atas.
Ulasan
Film The Great Gatsby pada dasarnya menggali tema yang mendalam tentang ilusi dan realitas. Gatsby, tokoh utama yang misterius, hidup dalam ilusi besar bahwa dia pasti bisa kembali ke masa lalu dan mendapatkan kembali cinta pertamanya, Daisy.
Gatsby sosok yang berhasil menciptakan kemewahan dan pesta megah, merupakan proyeksi dari impiannya. Namun, di balik kemewahan itu, tersembunyi kekosongan emosional dan kekecewaan yang dipendamnya.
Daisy, sementara itu, hidup dalam realitas yang penuh kompromi. Meskipun memiliki kehidupan yang tampak sempurna, pernikahannya dengan Tom diwarnai oleh ketidaksetiaan (sama-sama selingkuh) dan konflik. Dia juga terjebak dalam ekspektasi sosial yang membatasi kebebasannya.
Kontras antara ilusi dan realitas juga tercermin dalam gambaran masyarakat kelas atas di masa itu. Pesta megah yang dipenuhi kebahagiaan semu menjadi ilusi menyilaukan, sementara di balik tirai kehidupan glamor, terdapat ketimpangan sosial dan kekacauan.
Dari segi teknis, Gaya visual khas Baz Luhrmann memenuhi layar sepanjang film; menghadirkan pesta megah di kediaman Gatsby yang dihiasi perpaduan warna, juga energi dari musik dan tarian yang mempesona. Sejujurnya aku lumayan suka dengan penggunaan musik modern dalam setting klasik.
Ini sebenarnya menciptakan pengalaman yang unik, menyatukan hal klasik dengan elemen kontemporer. Namun, nggak sedikit yang menganggap lagu-lagunya salah tempat dan nggak masuk dengan era dalam filmnya.
Leonardo DiCaprio, dengan penampilannya sebagai Jay Gatsby, benar-benar mencuri perhatian dengan kemisteriusan dan enigmatik yang dibawakannya.
Dengan fasihnya, DiCaprio berhasil menyampaikan keinginan dan kerinduan karakter Gatsby akan masa lalu yang sulit dicapai. Penampilannya nggak hanya memikat secara visual, tetapi juga memasukkan lapisan emosi yang kuat ke dalam karakter ikonik itu.
Carey Mulligan, sebagai Daisy Buchanan, juga memberikan penampilan yang luar biasa, dia sungguh tampil anggun dan cantik, sekaligus terlihat rentan dalam pendirian dan hatinya (rapuh). Chemistry yang terbangun antara Mulligan dan DiCaprio memberikan dimensi ekstra pada kisah cintanya.
“The Great Gatsby” pada intinya jadi spektakel sinematik yang membawa karya sastra klasik Fitzgerald ke layar dengan sentuhan modern. Skor dariku: 8/10. Terlepas endingnya melenceng dari versi novel, tetapi satu hal yang sama, Gatsby sosok kesepian baik dalam novel maupun film.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS