"Sea Prayer" merupakan sebuah karya yang ditulis oleh Khaled Hosseini, seorang penulis ternama dengan karya-karya megahnya yang telah tersebar luas dalam ribuan bahasa di seluruh dunia. Buku ini memiliki daya tariknya sendiri meskipun hanya berisi 48 halaman, karena tambahan ilustrasi cantik karya seniman Dan Williams yang melengkapi setiap halamannya.
Khaled Hosseini melukiskan cerita ini sebagai ungkapan kegelisahan akan krisis pengungsi yang melanda dunia saat ini. Ia tergerak oleh foto tragis Alan Kurdi, seorang bocah tiga tahun yang terdampar di pantai Laut Mediterania dalam perjalanan mencari suaka di Eropa, pada bulan September 2015.
Buku ini mengisahkan kepingan ingatan seorang ayah tentang kota Homs, sebuah kota yang berada di tengah Suriah. Kota di mana sang ayah itu merajut kenangan hidupnya dalam keceriaan dan kepedihan.
Di bawah cahaya rembulan yang merona di tepian pantai, sang ayah melindungi anak lelakinya yang sedang terlelap. Mereka menanti fajar merekah, menantikan kedatangan perahu.
Dalam ceritanya, Sang ayah membagikan kenangan tentang kehidupan di Homs. Ia menceritakan betapa indahnya kota itu di masa lalu, saat karpet-karpet terhampar di musim panas, gemerisik pohon zaitun di pagi hari, dan suara dentingan panci yang menandakan awal suatu hari yang baru. Ia juga mengenang sosok istri tercinta,jalan-jalan kota yang ramai, serta bagaimana kota Homs menjadi tempat penuh kedamaian dengan adanya tempat ibadah bagi umat Muslim dan Nasrani.
"Kuharap kau mengingat Homs seperti aku mengingatnya, Marwan," ucap sang ayah sebelum melanjutkan ceritanya.
Selanjutnya, sang ayah menceritakan bagaimana Homs menjadi puing-puing, dengan genangan darah dan ledakan bom yang menghantui. Ketika mentari bersinar terang, Ayah dan anaknya bersama pengungsi lain di tengah pantai harus memulai perjalanan penuh bahaya di lautan untuk mencari tempat perlindungan.
Di antara warna-warni ilustrasi yang berbeda, "Sea Prayer" memberikan pesan tentang perasaan bahagia dan sedih. Ilustrasi yang terang menggambarkan keindahan dan kebahagiaan kota, sementara yang gelap mencerminkan kesedihan dan penderitaan. Namun, satu hal yang pasti, bahwa kenangan tak akan pernah pudar meski segalanya telah berubah.
Buku ini mengajarkan kita untuk bersimpati pada para pengungsi yang kehilangan segalanya. Mereka adalah orang-orang yang terlunta-lunta, yang merindukan rumah, keluarga, dan kehidupan yang aman. Mereka merasakan kebingungan, ketakutan, serta risiko besar dalam perjalanan mereka mencari kehidupan yang lebih baik. Meski terkadang tidak diinginkan oleh banyak orang, mereka tetap berjuang melanjutkan perjalanan mereka menuju kebebasan dari penderitaan yang ada.
"Kita semua mencari tempat untuk pulang. Kudengar kita adalah orang-orang yang tak diundang. Kita tak diterima. Seharusnya kita membawa kemalangan ini ke tempat lain".