Mengeksplorasi Kengerian Psikologis dalam 'Film Siksa Kubur'

Sekar Anindyah Lamase | Athar Farha
Mengeksplorasi Kengerian Psikologis dalam 'Film Siksa Kubur'
Poster film Siksa Kubur. [Instagram]

Dengan latar belakang tragedi yang mencekam, film horor psikologis dengan sedikit sentuhan religi, 'Siksa Kubur' telah tayang sejak 11 April 2024.

Siksa Kubur menghadirkan sebuah perjalanan emosional dan disturbing yang lumayan edan. Disutradarai dan ditulis oleh Joko Anwar, film ini diproduksi oleh Come and See Pictures dan bekerja sama dengan Rapi Films. 

Kerennya lagi, film Siksa Kubur dibintangi oleh bintang-bintang ternama. Di antaranya: Reza Rahadian memerankan Adil (dewasa), Muzakki Ramdhan sebagai Adil (kecil), Faradina Mufti jadi Sita (dewasa), sementara itu Widuri Puteri kebagian peran Sita (kecil), lalu Christine Hakim sebagai Nani (penghuni panti jompo), Slamet Rahardjo sebagai Wahyu, kemudian ada Fachri Albar berperan sebagai Sanjaya Arif (ayah Sita dan Adil), tak ketinggalan Happy Salma memainkan peran Mutia Kirana (ibu Sita dan Adil), dan masih banyak lagi. 

Sinopsis dibuka dengan kehidupan keluarga penjual roti yang lagi berada di dalam Toko Roti Gun. Ada Sanjaya Arif dan Mutia Kirana yang sedang membahas kabar hoaks menerpa usaha mereka terkait isu minyak babi.

Sementara itu, kedua anak mereka, Sita dan Adil, juga sedang membahas sesuatu hal lain. Namun tak lama kemudian, datanglah sosok pria misterius yang menjadi awal petaka bom bunuh diri. 

Setelah kedua orang tuanya jadi korban bom bunuh diri, Adil mendapatkan sebuah ‘kaset tape player’ pemberian pelaku bom bunuh diri yang direbut Sita. Tak lama kaset itu diputar, terdengarlah suara mengejutkan. Sesuatu yang dianggap sebagai motif sang pelaku bom bunuh diri. 

Sita menjadi tak percaya pada agama karena menganggap pelaku peledakan diri adalah seseorang ‘yang saking takutnya pada siksa kubur dalam kepercayaan agamanya’, sampai melakukan aksi bom bunuh diri di tempat yang ‘dianggapnya tepat’, agar bisa terhindar dari siksa kubur. 

Maka sejak saat itu, tujuan hidup Sita hanya satu: mencari orang paling berdosa dan ketika orang itu meninggal, Sita ingin ikut masuk ke dalam kuburannya untuk membuktikan bahwa siksa kubur nggak ada dan agama nggak nyata. Ngeri, ya!

Analisis

Horor psikologis merupakan genre yang memanfaatkan elemen-elemen psikologis untuk menghasilkan ketakutan dan ketegangan pada penonton.

Dalam film "Siksa Kubur", pendekatan ini digunakan secara magistral untuk merangkum kengerian dalam dimensi psikologis yang mendalam. Terlepas ada hal-hal religi, tetapi film ini jelas bukan hanya untuk satu kepercayaan, melainkan lebih universal. 

Karakter Kompleks dan Konflik Internal

Salah satu elemen utama dalam horor psikologis adalah karakter yang kompleks dan konflik internal yang kuat. Dalam "Siksa Kubur", Joko Anwar memberikan kedalaman emosional pada setiap karakter dengan memperkenalkan mereka sebagai individu yang memiliki lapisan-lapisan kompleks yang terungkap secara perlahan.

Misalnya, karakter Sita dan Adil digambarkan sebagai sosok yang menghadapi trauma masa lalu atas kehilangan kedua orang tua mereka. Ini menciptakan dimensi psikologis yang kaya dan memungkinkan penonton untuk lebih terhubung dengan kengerian yang dipresentasikan.

Penggunaan Trauma dan Kegagalan

Horor psikologis seringkali memanfaatkan trauma dan kegagalan sebagai sumber ketakutan yang kuat. Dalam "Siksa Kubur", trauma masa lalu menjadi pusat dari kengerian yang menghantui karakter utama.

Melalui kilas balik dan pengungkapan bertahap, penonton disuguhi dengan gambaran tentang pengalaman traumatis Adil yang mengalami pemerkosaan oleh sosok ‘bapak’. 

Ini memperdalam rasa ketidakamanan dan kegelisahan pada karakter, termasuk bikin penonton cukup terkejut sekaligus jijik dengan tema yang diangkat. 

Permainan Pikiran dan Halusinasi

Pentingnya permainan pikiran dan halusinasi dalam horor psikologis juga tercermin dalam "Siksa Kubur". Karakter-karakter dalam film ini sering kali merasa terjebak dalam dunia yang nggak menentu antara realitas dan ilusi.

Hal ini menciptakan ketidakpastian yang konstan bagi penonton, yang harus berjuang untuk membedakan antara kenyataan dan khayalan yang dipresentasikan di layar.

Dengan memanfaatkan kebingungan dan ketidakpastian ini, Joko Anwar berhasil memperkuat pengalaman psikologis penonton dan menghadirkan kengerian yang lebih mendalam. Terutama pada paruh akhir yang dialami Sita, terbayar tuntas, sih. 

Dalam film "Siksa Kubur," Joko Anwar tak hanya mengeksplorasi konsep ketakutan akan adanya siksa kubur, tetapi juga mengajukan pertanyaan yang lebih dalam tentang keimanan dan moralitas.

Premis tentang siksa kubur, rupanya menjadi sarana untuk menyisipkan subteks yang mengaburkan garis antara baik dan buruk, serta konsekuensinya. Skrip film ini juga terasa presisi dengan penggunaan callback ke adegan sebelumnya dengan peristiwa masa lalu, hal itu memperkuat konsep sebab-akibat yang ingin disampaikan.

Akan tetapi, di bagian pertengahan hingga akhir, terasa agak aneh untuk membayangkan terjadinya situasi kepanikan massal. Hal itu gara-gara ada rekaman suara ‘Siksa Kubur’ yang membuat semuanya jadi kacau total. Sepertinya cukup berlebihan.

Selain itu, entah mengapa aku agak merasa kurang dalam pengambilan gambarnya yang ‘begitu-begitu saja’, aku tak pernah benar-benar tahu wujud asli panti jompo dari luarnya seperti apa, termasuk bentuk toko rotinya, begitulah. 

Oh, iya, ada pertanyaan-pertanyaan yang tertinggal, bagaimana karakter matanya Adil bisa terluka dan tubuhnya seperti habis dihajar? Tak ada penjelasan lebih lanjut, termasuk bagian paling akhir yang membuka penonton untuk berteori liar. Oleh sebab itu, skor dariku: 7,9/10. Nyaris, ya? Tapi itulah impresi jujur dariku. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak