Kisah nyata yang terjadi berpuluh-puluh tahun lalu, terus difilmkan, itu sudah biasa. Namun, bagaimana dengan tragedi pembunuhan Vina, yang bagi keluarganya dan sebagian masyarakat Indonesia, tragedi itu masih jelas di ingatan, tapi mendadak dibikin jadi film horor? Apa pun pesan yang ingin disampaikan dalam filmnya, seharusnya nggak cuma tentang cuan.
"Vina: Sebelum 7 Hari" di bawah naungan Dee Company sukses menarik perhatian sehingga jadi perbincangan netizen. Nggak cuma jadi bahan diskusi dan keriuhan di dunia maya, tapi juga di ‘real life’, yang mana orang-orang berbondong-bondong ke bioskop hanya untuk nonton film besutan Sutradara Anggy Umbara.
Rupanya banyak bintang-bintang terlibat, di antaranya: Nayla Denny Purnama, Lydia Kandou, Yusuf Mahardika, Gisellma Firmansyah, Delia Husein, Pritt Timothy, Septian Dwi Cahyo, M Imran Ismail, Fahad Haydra, Khadijah Aruma, Ridwan Kainan, dan masih banyak peran pendukung lainnya.
Film berdurasi 1 jam 40 menitan ini, menghadirkan kisah pilu dari peristiwa nyata yang dulu menimpa Vina dan kekasihnya, Eky. Mereka tewas dan ditemukan terbujur kaku penuh luka di flyover Cirebon.
Awalnya, kejadian itu dianggap sebagai kecelakaan motor tunggal. Akan tetapi, kecurigaan muncul ketika neneknya Vina merasa, luka-luka yang diderita Vina, seperti bukan luka dari korban kecelakaan, alias cedera yang dialami Vina nggak masuk akal.
Suatu ketika, arwah Vina merasuki tubuh sahabatnya, Linda. Vina pun menyampaikan pesan, bercerita banyak hal atas kejadian yang merenggut nyawanya.
Review Film Vina: Sebelum 7 Hari
Nama sutradara biasanya jadi penentu kualitas sebuah film. Pas aku tahu nama sutradara dari ‘Film Vina: Sebelum 7 Hari’ adalah orang yang sebelumnya banyak bikin kecewa diriku atas film-filmnya: (Jin & Jun, Khanza, Aku Tahu Kapan Kamu Mati: Desa Bunuh Diri, Siksa Neraka, dan masih banyak lagi), yang kebanyakan cuma modal cerita dan gimmick doang, aku pun jadi agak mikir-mikir dulu buat nonton.
Namun, lagi-lagi karena penasaran memuncak, dengan segenap hati juga kesadaran menyingkirkan hal-hal terkait ‘pertimbangan etis atau nggak etis nonton filmnya’, aku pun akhirnya nonton, tanpa mengurangi rasa prihatin dan belasungkawa untuk para korban. Lanjut baca sampai akhir kalau mau tahu lebih banyak impresi yang kurasakan, ya.
Sejujurnya, apa yang kulihat, kurasakan, dan dari materi promosi film yang diperlihatkan, kelihatan banget kok, tujuan utama film ini dibuat jelas-jelas untuk mendapatkan keuntungan besar. Viral itu yang diutamakan. Bila nanti ada pengusutan kasus lebih lanjut, alhamdulillah.
Alih-alih bikin film yang serius supaya kisah aslinya terangkat lebih bermartabat, yang ada justru eksploitasi kisah sedihnya. Ya, rasa-rasanya scene kesedihan atas kematian Vina, proses Vina mau dimakamkan, sampai akhirnya dimakamkan, terasa sekali diulur-ulur.
Menurutku, kesedihannya memang sengaja dieksploitasi biar durasi jadi agak panjangan. Tapi satu hal, berhubung aku adalah pisces, nonton begituan juga ikutan sedih, tapi nggak mengurangi kesan yang telah kujabarkan.
Ya gimana ya? Film yang seharusnya bisa dibuat genre lain, seperti dibikin format dokumenter atau mungkin dijadikan drama menguras emosi, eh malah dijadikan horor dengan hanya bermodalkan rekaman asli Vina yang merasuki tubuh sobatnya. Modal gitu doang dari kisah yang layer-nya tipis banget!
Jadi wajar, bila aku atau mungkin sebagian penonton menganggap, film ini terkesan memeras kesedihan keluarga hanya demi keuntungan. Memang aku nggak tahu apa-apa, di balik pembuatan film ini terkait pihak keluarga, tapi yang jelas, peristiwa nyata atas kematian Vina dijadikan film horor itu nggak banget!
Meskipun akting pemain utama, Nayla Denny Purnama cukup meyakinkan, tapi eksekusi dan pilihan plotnya bikin penonton agak kurang peduli ya.
Jadi gini, belum juga penonton dibuat peduli sama karakter Vina, belum apa-apa langsung ada momen tragedi menyedihkan itu. Nggak ada scene untuk membangun karakter Vina di awal-awal. Isinya tuh serba flashback. Ingat baik-baik ya, dibikin peduli sama dibikin sedih itu beda.
Kamu perlu tahu perbedaan antara dibuat sedih atas nasib karakter dan dibikin peduli terhadap karakter (dalam film). Merasa sedih atas nasib karakter bisa berarti penonton tergerak secara emosional oleh apa yang terjadi pada karakter itu.
Sementara itu, peduli terhadap karakter berarti penonton merasa empati dan memiliki kepedulian yang dalam terhadap kehidupan dan pengalaman karakter itu.
Oh, iya, Lydia Kandou, juga bagus memerankan nenek. Sayangnya, entah mengapa, ada beberapa dialog yang terasa kaku dari kisah dengan layer yang setipis selotip.
Meskipun begitu, scene kesurupan dalam film, berhasil memberikan kesan yang kuat, terutama dengan efek sound yang dieksekusi dengan baik, terlepas visualnya biasa saja.
Yang jelas, film ini bertujuan buat ngasih tahu soal dampak buruk bullying. Harus kuakui, filmnya sukses menyampaikan pesan itu sampai banyak penonton ikutan mewek. Namun, sukses bikin penonton nangis itu nggak cukup!
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, film ini tetap meninggalkan tanda tanya besar. Apakah etis ditonton di tengah keluarga korban yang masih bersedih? Bukankah film ini hanya akan membuka luka yang masih jelas di ingatan?
Ah, setiap kontroversinya, film ini berhasil menciptakan diskusi terkait etika dalam pembuatan film dan arti sebenarnya dari kesenangan dan kepuasan menonton.
Skor dariku: 6/10. Aku paham banget skor ini nggak mungkin memuaskanmu, dan yang jelas akan ada perbedaan di antara kita. Jadi tontonlah biar kamu bisa merasakan sendiri.
Penilaian ini subjektif dan tergantung pengalaman nonton. Seandainya hal-hal kecil lain nggak dipertimbangkan, mungkin akan lebih nyusut skornya. Jika nantinya kamu merasa lebih puas dan lebih banjir air mata, itu sesuatu yang bagus, karena perbedaan itu mutlak dan di situlah letak indahnya. Selamat nonton ya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS