Buku berjudul "Air Susu Ibu," karya penulis Latvia, Nora Ikstena, ini membuka mata saya terhadap sastra Latvia. Negara asal penulis, Latvia, terletak di wilayah Baltik Eropa Utara dan dikenal sebagai salah satu negara dengan populasi terkecil di Uni Eropa, dengan Riga sebagai pusat pemerintahannya.
Kisah dalam "Air Susu Ibu" adalah sebuah perjalanan emosional yang menggugah, berlatar belakang Latvia di bawah cengkeraman Uni Soviet dari tahun 1969 hingga 1989. Buku ini mengungkap kisah tiga generasi wanita—nenek, ibu, dan anak—dari dua sudut pandang yang berbeda.
Sudut pandang pertama adalah dari seorang ibu, seorang ginekolog yang merasa tercekik oleh sistem komunis Soviet, hidup di era ketika Latvia berganti-ganti di bawah kekuasaan Nazi dan Soviet.
Kehilangan identitas dan kebebasan, sang ibu merasa terjebak dalam kepahitan dan kebusukan, sampai-sampai dia menolak memberikan ASI kepada anaknya, tak ingin mewariskan kepahitan tersebut kepada anaknya.
Kehidupan sang anak juga tidak kalah rumit, terjepit antara ratusan pasien wanita yang ibunya tangani dan kehidupan yang dibatasi oleh aturan-aturan yang merampas kemerdekaan mereka.
Namun, sudut pandang kedua datang dari sang anak, yang dibesarkan dengan penuh kasih oleh kakek-neneknya. Gadis ini tumbuh dengan kesabaran dan empati yang luar biasa, memahami dan merawat ibunya yang depresi dengan penuh kasih.
Dari halaman 44, kita mendengar suara anak itu, "Ibuku berangkat kerja pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Aku harus menjaga diriku sendiri. Aku belajar bagaimana menyalakan tungku kayu, mengisi air, mencuci pakaian."
Kontras antara ibu yang tertekan dan anak yang penuh kasih menjadi tema yang berulang, dengan anak itu secara sabar mencegah upaya ibunya untuk mencelakai dirinya sendiri dan tetap merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Melalui interaksi sederhana antara ibu dan anak, kita menyaksikan kehangatan yang berkembang perlahan antara mereka, sebuah kedekatan yang dibangun dengan pelan. Mereka saling mendukung dan berjuang bersama untuk bertahan hidup.
Lebih dari sekadar hubungan ibu-anak yang kompleks dan memilukan, buku ini juga mengeksplorasi trauma antargenerasi dan kesehatan mental, sembari memberikan gambaran tentang perang dan bagaimana operasi pemerintah bekerja dari kacamata wanita di Latvia.
Meski atmosfer ceritanya sangat suram, ada kehangatan yang mengalir dan meninggalkan kesan mendalam. Diterjemahkan dari bahasa Latvia, buku ini menggunakan bahasa dan diksi yang indah, sering kali membuat mata saya berkaca-kaca saat membaca deskripsi hubungan ibu-anak yang penuh emosi dan kehangatan.
Di akhir cerita, ibu meninggal pada musim panas 1989, saat Latvia mulai menabur benih kemerdekaan. Dalam keheningan, barisan wanita yang pernah menjadi pasiennya terus datang, membungkuk dan meletakkan bunga di makamnya, yang diselimuti aster merah tua dan putih.
Buku ini juga memicu refleksi tentang jahatnya dampak perang yang tidak hanya bersifat masif tetapi juga personal, menyerang kehidupan paling pribadi seorang individu, seperti hubungan ibu dan anak.
Dengan 226 halaman, buku ini adalah rekomendasi saya bagi Anda yang tertarik pada cerita-cerita tentang perempuan dengan latar historis dan gaya pengisahan yang menawan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS