Anak-anak tidak bisa memilih dilahirkan melalui rahim siapa. Mereka tak bisa memilah orang tua seperti apa yang pantas membesarkan mereka. Mereka terlahir karena takdir Allah semata. Sehingga sepatutnya kehadiran mereka ke dunia disambut rasa cinta dan kasih kedua orangtua, yang lalu merawat serta membesarkan anak-anak tersebut.
Sayangnya dunia tidak seideal itu. Kita kerap mendengar, atau melihat anak-anak yang ditelantarkan orangtua. Anak-anak yang kehadirannya tidak diinginkan dengan satu atau beberapa sebab. Anak-anak yang kehilangan hak mendapat kasih sayang sedari usia dini.
Namun syukurlah masih ada sekelompok orang yang menaruh kepedulian terhadap anak-anak tersebut di atas. Salah satunya adalah Panti Asuhan Bunda Serayu. Panti asuhan yang dinaungi Yayasan Wahyu Bawono, Keuskupan Purwokerto, ini terletak di Desa Kedunguter, Jalan Karangsawah No. 507, Banyumas, Jawa Tengah. Panti Asuhan ini menerima anak dari usia bayi hingga remaja dengan latar belakang menyedihkan. Ada yang terlahir dari hubungan di luar pernikahan, ada pula yang ditinggal meninggal orangtua kandung.
Panti Asuhan Bunda Serayu memiliki komitmen dalam mendidik iman dan kemandirian dalam jiwa anak-anak panti. Tak boleh ada adopsi anak-anak panti. Sebab anak-anak tersebut kelak akan dikembalikan kepada keluarga aslinya.
Buku ini memuat curahan hati para penghuni Panti Asuhan Bunda Serayu, yang ditulis ulang oleh Wilibrordus Megandika Wicaksono (wartawan harian Kompas), dan beberapa wartawan lainnya. Aneka kisah mereka dibagi menjadi enam chapter atau bagian yaitu: Kisah Anak Bayi-Balita, Kisah Anak TK-SD, Kisah Anak SMP, Kisah Anak SMK, Sebaris Doa dan Asa Anak-Anak, dan Kisah Para Pengasuh.
Pada bagian pertama, terdapat sejumlah cerita menyentuh tentang anak-anak yang dititpkan semenjak bayi di panti. Salah satunya seorang bayi perempuan kelahiran Bantul, Yogyakarta, yang dititipkan di usia 1 bulan karena orangtuanya masih berstatus pelajar SMP (hal. 8-9). Bayi ini tumbuh menjadi balita tanpa asuhan orangtua. Ketika ia sakit para pengasuhlah yang telaten merawat hingga sembuh. Kedua orangtua maupun kakek-neneknya bahkan tak pernah menelepon apalagi menjenguk ke panti.
Pada bagian kedua, ada satu kisah yang membuat saya pribadi tak kuasa menitikkan air mata, yakni tentang anak yang istimewa (hal 50-51). Dia anak perempuan berusia 8 tahun, yang dibawa ke panti saat masih bayi. Dia dipungut oleh seseorang dari jalanan, sebab ibunya seorang gelandangan dengan gangguan jiwa di jalanan Purwokerto. Ibu anak ini ditengarai menjadi korban pelecehan seksual. Sehingga dia pun lahir dengan gangguan mental.
Cara Wilibrordus menarasikan perasaan si anak istimewa amat mengharukan. Sebab meskipun anak ini jelas-jelas tidak dapat tumbuh selayaknya parameter normal, dia tetap berhak akan kasih sayang, perhatian, dan ketulusan dari kita.
Selain bagian yang menarasikan sudut pandang anak-anak penghuni panti, bagian lain yang tak kalah menarik adalah Kisah Para Pengasuh (hal. 88-110). Para pengasuh di sini terdiri dari suster dan bude. Mereka bertanggungjawab merawat, mengasuh, membesarkan, membimbing, dan mendidik anak-anak panti.
Suster Maria Natalia Hane misalnya, mengisahkan pengalaman uniknya memandikan dan menceboki anak usia di bawah satu tahun. itu karena sebelumnya dia tak pernah melakukan hal tersebut pada adik-adik keponakan. Atau Suster Theresa yang melukiskan pengalaman berkesan saat pertama kali merawat bayi laki-laki berusia 1 bulan.
Sebagaimana kita ketahui, para suster adalah wanita yang memutuskan hidup selibat. Sehingga mereka sama sekali tak tahu cara menangani bayi. Tetapi nyatanya para suster tersebut mampu menjalani pekerjaan mereka dalam semangat cinta kasih.
Masih banyak lagi kisah mengharukan di dalam buku ini. Yang jelas buku setebal 117 halaman, terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2020, ini adalah buku nonfiksi yang menggugah jiwa. Usai membacanya saya jamin, pembaca akan memaknai ulang cara mensyukuri anugerah Tuhan berupa kehadiran anak.
Mari membaca dan perkaya jiwa kita.