Sejarah tak pernah benar-benar selesai. Ia hidup dalam ingatan, trauma, dan diam yang membatu. Lewat novel Noda Tak Kasat Mata, Agnes Jessica mengajak pembaca menyelami sisi-sisi gelap sejarah Indonesia. Khususnya pembantaian yang terjadi pasca-gerakan 30 September 1965—dari sudut pandang seorang mahasiswi muda yang mendobrak kebungkaman itu.
Dari novel ini kita tahu, bahwa sejarah itu bukan dongeng semata. Tak ada bukti, suara, dan tuntutan bukan berarti tidak pernah ada. Kadang ia terbungkus luka yang tak ingin disentuh lagi. Bahkan hanya dengan mengingat atau membicarakannya kembali.
Identitas Buku
- Judul: Noda Tak Kasatmata
- Penulis: Agnes Jessica
- Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
- Tempat Terbit: Jakarta
- Tahun Terbit: 2018
- Kota Terbit: Jakarta
- Tebal: 192 Halaman
Dikisahkan Sarah, mahasiswa jurusan Sejarah di sebuah universitas ternama, memilih peristiwa 1965 sebagai topik skripsinya. Ia pergi ke desa Karya, Jombang, Jawa Timur. Daerah yang dikenal sebagai salah satu basis Partai Komunis Indonesia (PKI). Tahun itu adalah 1998, masa transisi Reformasi, saat narasi negara mulai digugat dan suara-suara yang dulu dikubur mulai mencari ruang.
Namun, kenyataan di lapangan tak seindah idealisme Sarah. Warga desa enggan bicara. Luka masih menganga. Bahkan setelah lebih dari tiga dekade, ketakutan dan stigma masih mencengkeram kuat. Yang menyambut Sarah justru kesunyian, prasangka, dan pandangan sinis—terutama dari Surya, pemuda keras kepala yang ternyata anak korban pembantaian.
Sebuah Tinjauan atas Noda Tak Kasat Mata Karya Agnes Jessica
Surya melihat Sarah sebagai gadis kota manja yang hanya datang untuk mempermainkan luka. Ayah Surya dulu hanyalah petani biasa yang ikut PKI bukan karena ideologi, tapi karena harapan akan kesetaraan sosial—sebuah gagasan yang kala itu menjanjikan. Namun, ketika rezim berbalik, kehidupan mereka hancur. Surya tumbuh dalam kemiskinan dan stigma. Kakaknya, Dewi, menjadi bisu sejak kecil karena menyaksikan ayah mereka dibantai.
Meski awalnya menolak, Surya perlahan terbuka karena kegigihan Sarah. Dalam kurun waktu singkat, hubungan mereka berkembang menjadi benih cinta. Sayangnya, konflik personal tak kalah pelik dari trauma sejarah. Sarah datang dengan pacar bernama Gunawan di Jakarta. Surya sendiri sedang menjalin hubungan dengan Lastri—anak kepala desa yang menjadi tumpuan harapan cinta.
Dari Benci ke Cinta: Dinamika Hati yang Rumit
Ketika cinta tumbuh di antara kerumitan ini, Agnes Jessica menyisipkan ironi dan dilema moral yang relevan: apakah cinta bisa tumbuh dari reruntuhan sejarah yang tak terselesaikan? Apakah kejujuran akademik bisa berjalan beriringan dengan kepekaan hati? Dan bagaimana luka kolektif bangsa mempengaruhi relasi antar individu?
Novel ini memang mengangkat kisah cinta, namun bukan itu kekuatan utamanya. Yang paling mencolok adalah keberanian Agnes untuk mengangkat isu 1965 secara manusiawi dan mendalam. Lewat dialog-dialog wawancara Sarah dengan warga desa, pembaca disuguhkan narasi alternatif yang jarang terdengar di buku sejarah resmi: kisah para petani miskin, keluarga korban, dan anak-anak yang tumbuh dengan warisan trauma dan aib tanpa pilihan.
Tentang Sejarah dari Dulu Hingga Masa Kini
Menurut data Komnas HAM, hingga kini belum ada penyelesaian hukum yang tuntas terhadap peristiwa 1965. Banyak korban dan keluarganya masih mengalami diskriminasi sosial, ekonomi, bahkan politik.
Para anggota yang ditangkap pada PKI 1965, tak semua tahu apa itu PKI. Namanya tiba-tiba tertulis dalam daftar hitam dan ditangkap. Dan siapa pelaku sebenarnya justru masih menjadi misteri. Dalam konteks inilah Noda Tak Kasat Mata menjadi penting. Ia tak hanya menjadi medium hiburan, tapi juga medium pengingat, bahwa ada sisi kemanusiaan yang terhapus dalam narasi hitam-putih sejarah.
Meski beberapa elemen cerita terkesan terburu-buru—misalnya cinta kilat antara Sarah dan Surya, atau alur penyelesaian konflik yang kurang menggigit. Noda Tak Kasat Mata tetap menjadi bacaan yang berani dan reflektif. Gaya bahasa Agnes yang sederhana namun emosional membuat cerita mudah diikuti, bahkan bagi pembaca yang tidak akrab dengan sejarah.
Pada akhirnya, Noda Tak Kasat Mata bukan hanya tentang Sarah dan skripsinya, atau cinta yang tumbuh di tanah luka. Ini adalah kisah tentang keberanian untuk menengok masa lalu dengan jujur. Tentang pentingnya menyuarakan yang bisu, dan merangkul sejarah—meski tak kasat mata, tapi tetap ada, dan berdampak hingga hari ini.