Menilik kembali tragedi pembantaian orang-orang yang dituduh melakukan praktik ilmu hitam, seperti santet dan tenung di Banyuwangi, Jawa Timur pada tahun 1998.
Tragedi kelam ini menelan ratusan korban yang diduga disebabkan karena kepercayaan masyarakat yang mengaitkan kesialan dan kematian dengan aktivitas santet, situasi politik yang tidak stabil sehingga dikhawatirkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memicu kerusuhan, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum karena mereka tidak dapat menangani kasus santet sehingga masyarakat mengambil hukum dengan tangan mereka sendiri.
Rupanya peristiwa ini menarik penulis untuk kembali mengangkat sejarah dalam kemasan prosa fiksi populer: novel. Novel ini tidak hanya menghadirkan cerita fiksi yang memikat, tetapi juga secara halus menyentuh luka lama tragedi kelam di Banyuwangi tersebut.
Tragedi ini menjadi latar belakang cerita, membingkai kehidupan para karakter dan menyelimuti mereka dengan stigma dan trauma.
Intan Andaru menghadirkan gambaran pedesaan Banyuwangi yang kental dengan tradisi dan kepercayaan, ketika garis antara kenyataan dan hal mistis mengabur.
Tokoh utama, Sari, terlahir dalam keluarga yang diidentikkan dengan ilmu hitam, menjadikannya mangsa prasangka dan diskriminasi. Tragedi pembantaian memperparah keadaannya, memaksanya hidup dalam ketakutan dan keterasingan.
Novel ini tidak secara eksplisit menggambarkan peristiwa pembantaian, tetapi trauma dan akibatnya terpatri dalam diri para karakter. Kehilangan, luka fisik, dan mental, serta stigma yang melekat menjadi beban yang mereka pikul.
Intan Andaru mengajak pembaca menyelami kompleksitas isu sosial ini, menyingkap sisi kemanusiaan di balik tragedi dan stigma yang menyelimuti.
Novel ini mengangkat isu sosial yang penting dan jarang dibahas, yaitu stigma dan diskriminasi terhadap dukun santet. Penulis menggambarkan suasana Banyuwangi secara detail dan realistis sehingga pembaca dapat merasakan atmosfer pedesaan Jawa yang penuh mistis dan kental dengan tradisi.
Selain itu, karater yang ada dalam novel ini digambarkan secara kompleks lengkap dengan ketegangan-ketegangan yang candu sehingga pembaca akan terus penasaran mengungkap kisahnya.
Di sisi lain, novel ini ditamatkan dengan akhir yang terasa agak menggantung dan tidak memberikan jawaban yang memuaskan untuk semua pertanyaan yang diajukan dalam novel.
Terdapat pula alur cerita yang dirasa lambat dan kurang menegangkan sehingga dalam beberapa bagian pesona cerita sedikit menurun.
Perempuan Bersampur Merah merupakan novel yang kuat dan menyentuh hati. Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang stigma dan diskriminasi, serta pentingnya melawan prasangka negatif terhadap orang lain.
Novel ini juga merupakan pengingat tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi yang merupakan bagian kelam dari sejarah Indonesia. Novel ini direkomendasikan untuk pembaca yang tertarik dengan isu-isu sosial, budaya Jawa, dan cerita yang penuh dengan misteri dan drama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS