Bagaimana rasanya berpegang teguh pada kejujuran di tengah mayoritas orang yang berperilaku curang? Tentu bukan sebuah hal yang mudah.
Bertahan dengan nilai kebaikan yang kita yakini, sementara orang-orang dengan mudahnya mengobrak-abrik tatanan kebajikan tersebut hanya demi kepentingannya sendiri.
Bersikap pragmatis dan mengambil apapun bahkan untuk sesuatu yang bukan haknya. Sungguh miris, tapi begitulah realita yang kerap terjadi ketika kita menengok di sekeliling, mulai dari masyarakat biasa hingga di tingkat birokrasi.
Mencari secuil kejujuran di tengah banyaknya kepentingan seolah mencari jarum di tumpukan jerami.
Hal itulah yang dirasakan oleh Kabul, sosok Insinyur muda yang begitu menjaga integritas dirinya meskipun ia melihat bahwa proyek pembangunan yang digarapnya amat riskan dengan kecurangan.
Ia adalah mantan aktivis kampus yang masih memegang idealismenya mengenai konsep keadilan dan kejujuran. Namun, ia dihadapkan dengan permainan politik yang hendak memotong anggaran proyek di sana-sini.
Ia bisa melihat bagaimana praktek korupsi dalam lingkup pembangunan di era Orde Baru tersebut akhirnya menggadaikan jaminan mutu bangunan.
Selain pemotongan anggaran yang membuat mutu bangunan menurun, korupsi yang terjadi juga hanya membebani masyarakat kecil.
Bangunan yang dihasilkan ternyata sangat ringkih, padahal menggunakan dana pinjaman luar negeri yang ujung-ujungnya berasal dari pajak masyarakat.
Novel berjudul 'Orang-Orang Proyek' karya Ahmad Tohari ini menggambarkan dengan tepat bagaimana segelintir orang memanfaatkan proyek pembangunan demi memperkaya diri sendiri.
Sebagaimana tokoh Dalkijo, sosok insinyur senior yang menjadi cerminan orang-orang yang hari ini tidak lagi memiliki kepedulian dengan masyarakat miskin asalkan ia bisa mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya.
Prinsip Dalkijo, lebih banyak bangunan yang rubuh, maka akan lebih banyak proyek. Jadi tidak perlu memikirkan jaminan mutu bangunan yang setengah mati diperjuangkan oleh Kabul.
Toh, insinyur seperti mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang di tengah maraknya fasilitas masyarakat yang rubuh.
Sebagai golongan masyarakat menengah, saat membaca novel ini saya tentu saja ikut geram.
Penulis benar-benar apik dalam menggambarkan kebobrokan para teknokrat dan birokrat yang tidak malu lagi memangkas kepentingan rakyat demi diri sendiri.
Meskipun mengambil latar di masa Orde Baru, tapi premis yang disampaikan terkait persoalan korupsi masih sangat relevan dengan apa yang terjadi hari ini.
Bagi kamu yang tertarik dengan bacaan bertema politik dan sosial, novel ini sangat layak untuk masuk di daftar bacaanmu selanjutnya!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS