Sebagai pencinta novel-novel kriminal bergenre misteri, thriller, sampai serial killer atau pembunuh berantai, saya senang sekali begitu mendapatkan novel Misteri Patung Garam, setelah mengantre lama di aplikasi Ipusnas.
Novel karya Ruwi Meita terbitan GagasMedia di tahun 2015 ini diawali dengan meninggalnya seorang pianis bernama Wina. Tubuh gadis itu ditemukan berselimut adonan garam dan telah dioven, hingga menyerupai patung garam.
Pihak kepolisian Surabaya menunjuk Kiri Lamiri, inspektur yang baru saja dipindahtugaskan dari Bojonegoro ke Bareskrim Polda Surabaya, untuk menangani kasus pembunuhan tersebut.
Kiri Lamiri mencurigai keterlibatan seorang seniman patung garam bernama Rahardian. Penyelidikan demi penyelidikan terhadap lelaki tersebut, membawa Kiri Lamiri menyelusuri latar belakang Rahardian dan masa kecilnya yang kelam, yang ternyata mengingatkan Kiri pada masa lalunya sendiri.
Selagi Kiri dan rekannya, Inspektur Saut, masih berusaha menguak kasus Wina, dua pembunuhan terhadap perempuan muda lainnya kembali terjadi. Kali ini para korbannya berprofesi sebagai pelukis dan chef. Umur keduanya 25 tahun, sama dengan korban yang pertama.
Lantas berhasilkah Kiri menemukan sang pembunuh berantai? Apa arti dari simbol yang selalu ditinggalkan pelaku dan hubungannya dengan garam? Mengapa sang pembunuh diam-diam juga mengincar Kenes, kekasih Kiri Lamiri?
Kenes sudah mencapai lantai lima, tempatnya tinggal. Dia keluar. Laki-laki itu diam saja dan membiarkan lift menutup lagi. Saat pintunya benar-benar tertutup, Kenes baru ingat parfum yang dipakai laki-laki tadi adalah aroma lavendel, aroma yang pernah dihirupnya di Citilies. Apa dia laki-laki yang sama dengan yang dilihatnya di Citilies? (Hal. 219)
Pertama, salut untuk sang penulis, Ruwi Meita, atas riset yang beliau lakukan berkaitan dengan sejarah garam, seluk-beluk kepolisian, dan hal-hal yang berkaitan dengan forensik.
Alur cerita digarap dengan rapi dan menghadirkan plot twist yang mengejutkan. Saya sempat menebak-nebak siapa yang akan menjadi korban pembunuhan selanjutnya. Apalagi penulis seakan ‘mengarahkan’ pembaca ke satu tokoh yang, saya selaku pembaca menyadari, merupakan target potensial karena latar belakang sang tokoh sesuai dengan korban-korban sebelumnya.
Namun, jelas tebakan saya salah, dong. Ruwi Meita yang kerap menggarap novel-novel bertema thriller, cukup ciamik dalam mempersiapkan plot-plot kejutan dan membuat saya tertipu mentah-mentah.
Karakter tokoh yang cukup mencuri perhatian saya di novel ini adalah tokoh Ireng, bocah pencopet yang ceplas-ceplos dan sempat ‘diamankan’ Kiri Lamiri saat baru menjejak di stasiun Surabaya, tapi belakangan menjadi anggota Klub Bahaya, bersama Kiri dan Kenes.
Selain itu, karakter Bude Marsi juga cukup mencuri perhatian. Saya merasa, kisah masa lalu Kiri Lamiri yang diasuh budenya dan kisah kesuksesan kasus Segitiga Biru yang pernah ditangani Kiri, bisa dijadikan novel tersendiri.
Saya sampai berpikir demikian, karena novel setebal 278 halaman ini rasanya kurang panjang, mengingat kisah yang dihadirkan tak hanya mengenai kasus pembunuhan berantai. Tapi, juga masa kecil sang pembunuh, Kiri Lamiri yang belum berdamai dengan masa lalunya, kisah cinta Kenes-Kiri dan kehadiran Ireng.
Meskipun novel Misteri Patung Garam ini dipenuhi ketegangan, tapi penulis tak lupa untuk menyisipkan humor di sana-sini melalui mulut ceplas-ceplos Ireng dan celetukan ‘Kampret Rebus!’ dari Inspektur Saut yang cukup ikonik dan saya yakin sangat menjejak di kepala para pembaca.
Pokoknya, kalian harus membacanya sendiri untuk membuktikan keseruan novel ini yang sungguh-sungguh Kampret Rebus!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.