Resensi Novel Anak Dusun: Memetik Hikmah Melalui Sastra Lama

Sekar Anindyah Lamase | Rie Kusuma
Resensi Novel Anak Dusun: Memetik Hikmah Melalui Sastra Lama
Cover novel Anak Dusun (Dok. Ipusnas)

Selalu menyenangkan membaca karya-karya sastra lama dari era 70-an dan kali ini saya membaca Anak Dusun karya dari Mansur Samin. Buku ini diterbitkan pertama kali di tahun 1977 oleh Penerbit Pustaka Jaya.

Anak Dusun berkisah tentang perjuangan hidup anak perempuan bernama Tiur. Ia dan keluarganya tinggal di sebuah gubuk di Dusun Sakkunur, Tapanuli Selatan.

Penduduk dusun tersebut hidup dengan cara bertani atau menyadap pohon karet. Namun ada pula yang menjadi orang utas, yaitu mereka yang mencari damar, rotan, dan kayu ulin di hutan.

Demikian pula ibunda Tiur, Khairani, yang bekerja menggarap sawah miliknya sementara Sombu, suaminya bekerja menjadi penyadap karet.

Namun, aktivitas para penyadap karet akan terhenti jika datang musim hujan, karena tak ada pohon karet yang bisa disadap dengan curah hujan yang terus-menerus.

Jadilah, ayah Tiur dan sesama penyadap karet lainnya menganggur. Mereka lalu banyak menghabiskan waktu di warung atau di Pakter Tuak untuk berjudi dan mabuk-mabukkan.

Kelakuan Sombu ini tentu saja menyusahkan Tiur dan keluarga. Khairani, sang ibu, sampai harus menggarap sawah orang lain untuk menambah penghasilan. Hal yang dilakukan karena perekonomian rumah tangga semakin terpuruk.

Lama-kelamaan Sombu juga jarang pulang. Ia hanya pulang jika kehabisan uang untuk modal berjudi dan mabuk-mabukkan. Sombu akan mengambil perhiasan istrinya dan tak segan-segan memukuli istri dan anak-anaknya yang mencoba mencegah perbuatannya.

Keinginan Khairani untuk bercerai ditentang oleh ayahnya. Sebagai penguasa adat di dusun, kakek Tiur beranggapan bahwa perceraian adalah aib yang akan mencoreng mukanya. Adat Tapanuli sendiri juga sangat melarang keras perceraian.

Tekanan hidup yang berat, ekonomi yang payah, anak-anak yang harus tetap sekolah, menjadikan Khairani satu-satunya tulang punggung keluarga yang berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun, semua perjuangannya demi keluarga harus selesai ketika penyakit yang selama ini menderanya, membuat Khairani harus kehilangan nyawa.

Lantas bagaimanakah nasib Tiur dan kedua adiknya setelah kematian sang ibu? Tanpa kehadiran ayah, tanpa bantuan kakek-nenek dan sanak famili, mampukah Tiur bertahan dengan beban berat yang tersandang di punggungnya?

Aku tetap berpendapat, lebih baik kami hidup terasing. Aku merasa bertanggung jawab mengasuh adik-adikku. Aku sebagai anak sulung mendiang ibu berkewajiban melanjutkan tugas ibu.

Sebagai anak kecil sebenarnya aku belum layak menerima tugas yang berat itu. Tapi kesadaranku berkata, “Betapapun beratnya tugas yang diwariskan oleh mendiang ibu, aku harus menerimanya dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.” (Hal. 44)

Novel Anak Dusun membuat perasaan saya mengharu biru. Menjadi anak sulung, apalagi anak sulung yang masih berusia 12 tahun dan perempuan pula, beban yang harus ditanggung Tiur begitu berat.

Tiur dan Riris, adiknya harus putus sekolah. Mereka bekerja di sawah warisan ibu dan bergantian menjadi tenaga upahan di sawah orang lain untuk dapat bertahan hidup.

Hanya Lian, adik lelaki satu-satunya yang tetap diharuskan Tiur untuk bersekolah. Tiur bertransformasi dari seorang kakak menjadi kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga bagi adik-adiknya.

Karakter Sombu benar-benar membuat saya muak. Ayah yang tak bertanggungjawab, pemalas, penjudi, pemabuk, dan tak segan memukuli anak-istri rasanya sangat tak layak menjadi pemimpin dan kepala keluarga. Bahkan ia juga tega menjual gubuk yang ditempati ketiga anaknya.

Tokoh Khairani mengambil porsi besar di awal-awal cerita. Saya sangat senang karena meskipun hidup di bawah garis kemiskinan, tapi Khairani tetap mengedepankan pendidikan untuk anak-anaknya. Meskipun pada akhirnya Tiur memutuskan berhenti sekolah agar bisa merawat sang ibu dan mencari nafkah.

Seperti umumnya sastra lama, saya juga menemukan sejumlah kata yang sepertinya di masa sekarang sudah jarang digunakan. Seperti, telekung (mukena), kerabu (subang tipis dari emas), dan menggelebak, yang tidak berhasil saya temukan artinya di KBBI.

Perjuangan Tiur menafkahi dan membesarkan adik-adiknya masih harus melalui jalan berliku. Tiur juga berpikir ke depan agar dirinya tak terus menjadi orang upahan.

Ending ceritanya sendiri cukup membuat saya berbahagia dan agak tercengang ketika mengetahui sebab musabab penolakan kakek atas perceraian yang dulu diinginkan anaknya, Khairani. Sungguh di luar dugaan.

Kalian yang juga menyenangi karya sastra lama, jangan sampai melewatkan untuk membaca Anak Dusun, karena banyak pembelajaran dan hikmah yang bisa kita petik dalam kisahnya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak