Ini pertama kalinya saya membaca serial Lulu yang ditulis keroyokan oleh Hilman-Boim-Gusur. Saya lebih familiar dengan novel ‘kakaknya’, Lupus, yang mengisi masa remaja saya dan bahkan masih saya baca sampai sekarang.
Namun, membaca serial Lulu: Sohib Gaib ternyata memiliki keseruan tersendiri. Selain itu, jika di novel Lupus biasanya berbeda-beda tema ceritanya di beberapa bab, di serial Lulu ini ceritanya merupakan satu kesatuan utuh.
Adapun novel yang pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1982 ini, berkisah tentang Lulu yang bersekolah di SMA Elite yang isinya anak-anak borju.
Belakangan, kelas Lulu sering kehilangan barang, macam: penghapus, duit, kertas contekan, dll. Semua teman sekelasnya sepakat menuduh Lulu, karena sempat ada isu kalau Lulu punya penyakit Kleptomania.
Namun, tuduhan yang belum terbukti itu membuat teman-teman Lulu kesal sendiri. Mereka jadi sering banget ngerjain lulu untuk meluapkan kekesalannya. Selain itu, mereka juga selalu menjadikan Lulu kambing hitam, untuk semua masalah yang terjadi dalam kelas.
Sampai suatu kali, Lulu berkenalan dengan Tuyul waktu ia numpang pipis di bangunan tua belakang sekolah. Lulu bahkan menjadi majikan si tuyul yang dipanggilnya Kecit.
Sebagai majikan, Lulu meminta Kecit untuk berhenti mencuri dan hanya melakukan hal-hal baik, seperti: menangkap basah Simon yang mencuri kacamata Bu Surti atau memberitahu Lulu siapa yang ngumpetin kertas contekannya.
Perkara Lulu yang memelihara tuyul ternyata menimbulkan kemarahan seseorang bernama Wak Wagung, sang mantan majikan Kecit sebelum diambil alih Lulu.
Lalu, apa yang harus Lulu lakukan ketika Kecit terancam bahaya? Bagaimana pula nasib Lulu ketika maling alat tulis kembali merajalela dan di tas Lulu ditemukan barang bukti?
Membaca novel Lulu: Sohib Gaib, terasa sekali kalau novel ini sangat jauh berbeda dari novel ‘sang kakak’, Lupus. Namun dalam arti baik! Komedinya disebar merata di dialog dan narasi. Satu lagi, minim tebak-tebakan yang menjadi pembeda dengan novel Lupus.
Alurnya rapi. Karakter Lulu sangat kuat tapi jauh berbeda dengan karakter Lulu yang ada si novel Lupus. Di sini Lulu lebih dewasa meskipun masih ada centil-centilnya sedikit.
Konfliknya lumayan padat, tak hanya menyoal perundungan yang dialami Lulu, tapi juga kasus hilangnya barang-barang di kelas, dan juga masalah tuyul yang ternyata merembet ke mana-mana.
Ending cerita lumayan bikin kesel, karena semua kejadian dari Lulu yang berteman dan jadi majikan tuyul sampai tuyulnya itu mati ternyata cuma mimpi. Ya, Lulu mimpi pas jam pelajaran Bu Surti!
Sejujurnya, saya memaklumi kalau ending cerita yang tiba-tiba tokohnya mati atau tokohnya mimpi, pada tahun 90-an tentu menjadi sesuatu yang WOW. Plot twist! Tapi, ketika dibaca di zaman now, terus terang itu terasa basi. Nggak menarik. Nggak banget.
Bagi saya, rasanya sayang saja, alur dan plot yang sudah disusun demikian apik dan rapi, kisah yang epik tentang pertemanan manusia dan makhluk halus, lalu ending-nya cuma mimpi.
Ngeselin tapi mau bagaimana lagi, namanya juga komedi. Walau lumayan sakit rasanya pas tahu kenyataannya, ya, dinikmatin aja!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS