Para pembaca cerpen Danarto, termasuk pembaca buku Ikan-Ikan dari Laut Merah ini, sepakat jika dikatakan bahwa Danarto merupakan salah satu maestro cerpen Indonesia yang secara khusus mendedikasikan karya pada tema-tema religius, tepatnya tasawuf atau sufistik atau sastra profetik.
Cerpen-cerpen Danarto jauh dari kesan dangkal dan mudah diterka. Hal ini menandakan bahwa Danarto lebih dari sekadar cerdik untuk selalu mampu menyiasati sesuatu yang biasa-biasa saja menjadi cerita-cerita yang luar biasa.
Coba simak cerpen pertama yang bertajuk Jantung Hati. Tema yang diangkat adalah soal kematian. Tampak dari luar biasa-biasa saja, namun tidak demikian kenyataannya. Cerpen ini keluar dari kata biasa itu. Dari paragraf pertama saja, cerpen ini sudah begitu mengentak, menendang, dan menggigit.
Hari ini saya mati. Jenazah saya dikebumikan beramai-ramai oleh teman-teman. Istri dan anak-anak saya menangis di tepi gundukan kuburan saya. Mereka lupa berdoa karena sedihnya. Istri saya mendekap ketiga anak saya yang masih kecil-kecil, persis induk ayam melindungi anak-anaknya. Banyak teman yang menangis juga. Mereka seperti tak percaya bahwa hari ini tubuh saya yang masih segar dimasukkan ke liang lahat. Mereka sangat kehilangan karena kepergian saya yang tiba-tiba dalam usia muda. Saya kena serangan jantung. (Halaman 13).
Danarto lantas melanjutkan ceritanya bahwa sosok "saya" sedang memburu teroris yang baru saja meledakkan bom di sebuah mal. Kobaran api menghanguskan sebagian dinding dan langit-langit toko parfum, korban-korban bergeletakan di antara bongkahan tembok dan pecahan kaca.
Menurut para sopir yang beristirahat di lapangan parkir, ada seorang pria berjaket yang lari kencang ke luar dari mal sebelum bom meledak. Tokoh "saya" yang kebetulan menyaksikan semburan asap dan api itu, langsung mengejar teroris yang menurut saksi mata lari ke arah timur. Namun, tiba-tiba jantungnya tidak kuat lagi menanggung ketegangan, ia lantas duduk terkulai di belakang setir dan tak bangun-bangun lagi.
Ia lalu bersikeras bahwa mati bukanlah cita-citanya. Siapa yang mau mati? Mati adalah ketakutan itu sendiri. Kebanyakan manusia tidak ingin mati. Rata-rata manusia ingin hidup abadi. Kematian adalah jalan menuju pengadilan. Siapa mau diadili? Seorang yang hidup lurus selama tinggal di dunia, juga tidak senang diadili.
Jadi, setiap manusia selama hidup di dunia harus mempersiapkan diri baik-baik dalam perjalanan menuju akhirat. Amanat inilah yang ingin disampaikan oleh Danarto lewat cerpen bertajuk Jantung Hati itu.
Lebih lanjut, lewat tokoh "saya" Danarto menegaskan bahwa ternyata kematian itu membahagiakan. Kematian itu tak berbatas, luas bagai cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Terhadap kematian, sungguh seharusnya tidak diucapkan ikut berdukacita sedalam-dalamnya. Yang diucapkan mestinya ikut bersuka ria semeriah-meriahnya. Karena, kematian itu membahagiakan.
Dalam kematian, bernapas lebih lega. Beban berat di hati terpunggah. Penderitaan hidup lenyap. Kematian telah memindahkan kesadaran ke alam lain. Kesedihan adalah penderitaan. Sementara kematian bukanlah kesedihan. Bagi manusia, kematian adalah jantung hati. Pujaan. Hasrat utama kehidupan.
Itulah Danarto dengan sebagian isi cerpennya di dalam buku kumpulan cerita pendek bersampul warna merah ini. Danarto adalah cerpenis yang lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 27 Juni 1940. Ia mempunyai beberapa buku cerpen. Di antaranya Godlob, Adam Ma'rifat, Berhala, Gergasi, dan Kacapiring.
Ia juga mempunyai buku non fiksi berjudul Orang Jawa Naik Haji. Punya dua buku esai yang terbit pertama kali pada tahun 1996, Gerak-gerik Allah, dan Begitu Ya Begitu Tapi Mbok Jangan Begitu.
Selamat membaca, semoga bermanfaat.
Identitas Buku
Judul: Ikan-Ikan dari Laut Merah
Penulis: Danarto
Penerbit: Diva Press
Cetakan: I, Desember 2016
Tebal: 220 Halaman
ISBN: 978-602-391-301-5