Para Priyayi layak disebut-sebut sebagai salah satu karya terbaik Umar Kayam. Kompleksitas tatanan masyarakat Jawa, sistem kekerabatan, dan kondisi sosial digambarkan cukup detail dalam tulisan sepanjang 308 halaman.
Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak petani biasa mencapai posisi baru dalam masyarakat sebagai seorang priyayi. Sebuah golongan yang dianggap terhormat di dalam strata masyarakat Jawa saat itu.
Pada awalnya, pembaca akan disuguhi penggambaran sebuah wilayah bernama kota Wanangalih. Kota ini berada di dekat Madiun yang dihuni oleh keluarga priyayi bernama Sastrodarsono.
Umar Kayam membawa pembaca untuk menyelami kisah keluarga priyayi ini melalui alur maju mundur. Setelah penggambaran kota Wanangalih, selanjutnya akan diceritakan tentang tokoh priyayi dan keturunannya yang kelak akan diharapkan menjadi priyayi pula.
Dalam kelanjutan ceritanya, tokoh yang muncul adalah Lantip. Ia anak wanita penjual tempe dari desa Wanawalas. Ibu Lantip sering berjualan ke kota Wanangalih, termasuk ke keluarga Sastrodarsono. Maka pada perkembangan ceritanya, Lantip akhirnya tinggal di rumah keluarga Sastrodarsono dan mendapatkan akses pendidikan lebih layak.
Setelah menceritakan latar belakang Lantip, barulah novel ini membawa alur mundur untuk mengisahkan tentang asal usul Sastrodarsono. Sebagai seorang dari keluarga biasa, Sastrodarsono akhirnya mendapat pekerjaan yang mapan sebagai guru dan menikah dengan wanita bernama Siti Aisah atau kerap dipanggil Dik Ngaisah.
Lika-liku Sastrodarsono membentuk keluarga baru yang terpandang terus berlanjut. Isi novel ini terus bergulir menggambarkan kisah keturunan keluarga Sastrodarsono, seperti Hardojo, Noegroho, dan Harimurti. Masing-masing tokoh akan memiliki konflik tersendiri.
Gaya penceritaan novel Para Priyayi menjadi salah satu yang menarik di antara novel-novel Indonesia yang lain. Hal ini karena Umar Kayam tidak hanya berfokus pada tokoh dan konflik saja. Namun, secara bersamaan ia berusaha membangun sebuah pemandangan tentang kehidupan masyarakat yang erat kaitannya dengan lokalitas Jawa. Tak mengherankan apabila pembaca akan menemukan banyak filosofi kehidupan yang berakar pada kebudayaan Jawa.
Sastrodarsono selalu berusaha membangun citra yang baik di masyarakat, ia pun tak luput mendidik anak-anaknya agak terus berpegang teguh pada budi pekerti. Keikhlasan berbuat baik pun tecermin dari upaya Sastrodarsono menyekolahkan kerabat jauh dan mendirikan sekolah gratis di wilayah yang pendidikannya tertinggal.
Maka dapat dikatakan bahwa priyayi bukan hanya sosok yang dihormati, tetapi sebisa mungkin memberi dampak positif kepada kehidupan di sekitarnya.
Selayaknya kutipan sinopsis yang berbunyi "Lalu apakah sesungguhnya “priyayi” itu? Status kelas? Pandangan dunia kelas menengah elite birokrasi? Sekadar gaya hidup? Atau kesemuanya?". Novel ini berusaha mencari makna priyayi yang sesungguhnya lewat penggambaran tokoh Sastrodarsono, Lantip, dan keturunan yang lainnya.
Sastrodarsono yang melewati likal-iku kehidupan untuk sampai di posisi kehormatan di masyarakat. Sayangnya pada kelanjutan hidup anak-anak dan keturunannya, beberapa di antara mereka mengalami hambatan hidup. Sebut saja anak dari saudara jauh yang secara sukarela disekolahkan, justru sering berbuat onar. Adapun salah satu cucunya, yang bernama Harimurti sempat mendapat masalah karena bergabung dengan Lekra.
Pada akhirnya, novel ini bukan sekadar menggambarkan potret kehidupan keluarga priyayi saja. Namun, di dalamnya turut menceritakan gambaran perubahan keadaan sosial yang turut memengaruhi perubahan makna priyayi itu sendiri. Pada awalnya priyayi dianggap sebagai status kelas dan kehormatan. Namun seiring berkembangnya waktu, priyayi dapat dimaknai melalui sisi perilaku seseorang, seperti darma pengabdiannya kepada masyarakat sekitar.
Identitas buku
Judul: Para Priyayi
Penulis: Umar Kayam
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti
Cetakan pertama: Januari 1992
Tebal buku: 308 halaman