Setelah menghabiskan dua jam lebih menyaksikan film "Pabrik Gula" di bioskop, saya merasa film ini seperti mengajak penonton menelusuri lorong waktu. Di satu sisi, kita disuguhi modernitas sebuah pabrik gula. Di sisi lain, kita dibawa ke dimensi mistis yang sudah mengakar dalam budaya kita.
Pengalaman Menonton yang Unik
Menariknya, film garapan Awi Suryadi ini hadir dalam dua versi tayangan - Jam Kuning untuk 17+ dan Jam Merah untuk 21+. Saya berkesempatan menonton keduanya, dan sejujurnya, perbedaan satu menit antara kedua versi ini tidak terlalu signifikan. Yang lebih menarik justru bagaimana pembagian waktu ini menjadi bagian kunci dari cerita.
Sebagai penggemar film horor Indonesia, saya menemukan beberapa hal yang membuat "Pabrik Gula" berbeda dari film-film sejenisnya. Setting pabrik gula tua yang megah, dengan mesin-mesin berusia puluhan tahun dan lorong-lorong berkelok, memberikan nuansa mencekam yang jarang ditemui di film horor lokal.
Cerita yang Mengalir dengan Kejutan
Film ini mengisahkan sekelompok buruh musiman yang bekerja di pabrik gula tua. Ada Endah yang penasaran, Fadil si religius, dan pasangan Hendrati-Ningsih yang menyimpan rahasia. Mereka harus mematuhi aturan ketat: Jam Kuning setelah maghrib untuk masuk loji, dan Jam Merah pukul 21.00 dimana semua harus terkunci di dalam.
Yang membuat saya terkesan adalah bagaimana film ini memadukan unsur supernatural dengan realitas kehidupan buruh musiman. Kita bisa merasakan keseharian mereka: bangun pagi, kerja keras di ladang tebu, hingga interaksi di loji yang penuh canda tawa - sebelum teror dimulai.
Kekuatan di Balik Layar
Sinematografi Randy Purnomo berhasil menangkap keindahan sekaligus kengerian pabrik tua. Ada shot-shot memukau yang memperlihatkan mesin-mesin raksasa dari berbagai sudut, menciptakan atmosfer industrial yang jarang kita temui di film horor Indonesia.
Sound design menjadi salah satu aspek terkuat film ini. Denging mesin yang berpadu dengan bisikan-bisikan gaib, ditambah scoring yang tepat, membuat jantung saya beberapa kali berdegup kencang. Meski kadang jump scare-nya terasa standar, timing-nya cukup efektif membuat penonton terlonjak.
Performa yang Mencuri Perhatian
Mbah Jinah, diperankan dengan brilian, mencuri perhatian setiap kali muncul di layar. Transformasinya dari dukun desa yang kalem menjadi medium dalam ritual kuda lumping benar-benar meyakinkan. Chemistry antara Franky dan Dwi sebagai comic relief juga mengalir natural, memberikan jeda yang pas di antara ketegangan.
Saya particularly impressed dengan detail kostum dan tata rias, terutama dalam adegan-adegan ritual. Prostetik makeup untuk hantu-hantu tradisional terlihat meyakinkan, meski penggunaan CGI untuk beberapa efek supernatural bisa lebih diperhalus.
Yang Bisa Ditingkatkan
Meski banyak hal positif, ada beberapa aspek yang menurut saya bisa ditingkatkan. Plot twist utama terasa familiar bagi yang sudah menonton film-film adaptasi Simpleman sebelumnya. Pengembangan karakter juga bisa lebih dalam, terutama untuk tokoh-tokoh pendukung yang potensial.
Sejarah pabrik sebagai bekas rumah sakit jiwa zaman kolonial sebenarnya bisa dieksplorasi lebih jauh. Begitu juga dengan tradisi pengantin tebu yang hanya disinggung sekilas. Ada banyak material menarik yang sayangnya tidak digali maksimal.
Catatan Personal
Sebagai penikmat film horor, saya mengapresiasi upaya "Pabrik Gula" menghadirkan sesuatu yang berbeda. Setting industrial yang jarang dieksplor, paduan horor-komedi yang pas, dan kualitas produksi yang mumpuni membuat film ini layak ditonton.
Meski tidak sempurna, film ini menunjukkan bahwa horor Indonesia bisa menghadirkan teror yang berkualitas tanpa meninggalkan unsur budaya. Ada potret kehidupan buruh, mistisisme Jawa, dan kritik sosial yang diselipkan dengan cerdik di antara adegan-adegan mencekam.
Hal yang Berkesan
Salah satu scene yang paling membekas adalah ritual kuda lumping di malam hari. Cahaya obor yang menari-nari, suara gamelan yang hipnotis, dan transformasi Mbah Jinah menciptakan sequence yang powerful. Ini bukti bahwa horor Indonesia bisa mengangkat tradisi lokal dengan cara yang sophisticated.
Kesimpulan
"Pabrik Gula" mungkin bukan film horor terbaik tahun ini, tapi definitif layak ditonton. Film ini seperti gula aren - ada manisnya (komedi), ada pahitnya (horor), dan meninggalkan after taste yang bikin penasaran. Cocok ditonton bareng teman-teman di bioskop, asal siap teriak bareng-bareng.