Review Film Perang Kota: Drama Sejarah Berani Melangkah Lebih Artistik

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Perang Kota: Drama Sejarah Berani Melangkah Lebih Artistik
Poster Film Perang Kota (Instagram/ cinesurya)

Begitu lampu bioskop meredup dan Film Perang Kota mulai diputar, rasanya langsung beda. Film ini disutradarai Mouly Surya, yang pernah bikin Film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Kali ini, dia membawa kita ke masa lampau dengan pendekatan yang jauh dari film sejarah pada umumnya. Nggak ada retorika besar, nggak ada pahlawan yang ditinggikan. Yang ada justru kisah tentang luka, pengkhianatan, dan perjuangan yang sunyi.

Diproduksi Cinesurya Pictures dan bekerja sama dengan Starvision Plus, Film Perang Kota sudah tayang di bioskop kesayanganmu sejak 30 April 2025. Film ini sudah menarik perhatian banyak khalayak, dikarenakan mengusung adaptasi dari novel klasik: Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. 

Penasaran dengan kisahnya? Sini simak lebih lanjut!

Sekilas tentang Film Perang Kota

Jakarta, 1946. Kota lagi kacau-balau. Presiden sudah pergi, dan jalanan penuh asap dari bangunan yang dibakar. Nggak jelas siapa pelakunya, bisa Gurkha, Inggris, atau Belanda. 

Di tengah kekacauan itu, ada Isa (diperankan Chicco Jerikho) mantan pejuang yang sekarang banting setir jadi guru SD. Umurnya 35 tahun, dulunya jago main biola dan punya reputasi sebagai pejuang tangguh. Namun, perang meninggalkan luka batin yang dalam, salah satunya bikin dia nggak bisa lagi "berfungsi" sebagai suami. Kasih tahu nggak ya? Eh. 

Nah, Isa tinggal bareng istrinya, Fatimah (Ariel Tatum), dan anak angkat mereka, Salim. Karena sekolah sepi murid, dia sampai nekat nyuri buku tulis biar dapur tetap ngebul. Di sela-sela hidup yang makin suram, Isa masih membantu perlawanan lewat Hazil (Jerome Kurnia), murid biolanya yang muda, ganteng, dan punya semangat juang membara.

Namun, ternyata Hazil nggak cuma dekat sama Isa di ruang latihan biola. Hazil diam-diam mendekati Fatimah. Dan ketika Isa sadar Fatimah hamil, dia tahu pasti itu bukan anaknya. Hanya saja Isa memilih diam dan menganggap bayi itu sebagai anaknya sendiri.

Isa dan Hazil lalu menyusun rencana besar buat meledakkan bioskop di Pasar Senen, tempat nongkrongnya tentara Belanda dan pejabat NICA, termasuk Van Mook, gubernur jenderal Belanda yang menganggap Indonesia sebagai "tanah airnya". 

Sayangnya, seperti banyak rencana di masa perang, semuanya nggak berjalan mulus.

Hazil malah belok, dengan menyerahkan semua nama rekannya. Fatimah pergi meninggalkan Isa. Namun, dari semua kehancuran itu, Isa justru mendapat satu hal yang nggak ditemui selama ini, yakni ketenangan.

Tragis sih!

Impresi Selepas Nonton Film Perang Kota 

Yang aku sukai dari Perang Kota ada pada keberaniannya untuk tampil beda. Mouly Surya memilih untuk menanggalkan formula film sejarah Indonesia yang biasanya penuh adegan heroik atau keramaian perang. 

Di sini, alih-alih ledakan peluru, Sobat Yoursay bakal disuguhi ledakan emosi dari dalam diri para karakter. 

Mouly menggunakan gaya visual yang artistik; dari rasio gambar yang lebih sempit, pencahayaan redup dengan warna-warna bumi, serta set art direction yang begitu teliti hingga terasa imersif.

Aku sampai sempat merasa seolah-olah sedang menonton teater yang dipindahkan ke layar lebar, terutama karena dialog bahasa Indonesia yang baku dan teatrikal.

Akting ketiga pemeran utama juga kece banget. Chicco Jerikho berhasil menampilkan sisi rapuh dari sosok pria yang merasa gagal sebagai pejuang dan sebagai suami. Ariel Tatum ngasih energi sekaligus kepedihan yang subtil, membuat karakternya jauh dari sekadar istri pendamping dalam cerita. Sementara itu, Jerome Kurnia dengan peran yang menuntut emosi serba tanggung, jelas dia berhasil menguasainya.

Dan yang kurasakan pula, film ini lebih dari adaptasi novel sejarah. Bak cerminan atas luka-luka yang kerap terlupakan setelah peperangan usai: yakni luka psikis, pergolakan batin, dan alienasi di tengah perubahan sosial yang bergerak cepat. Bahkan aku ikut larut dalam kekosongan dan kekalutan yang dirasakan Isa.

Memang, mungkin buat sebagian penonton, pendekatan film ini yang lebih kontemplatif dan teatrikal bisa terasa "berat" atau kurang ramah buat yang mengharapkan aksi atau alur cepat. Namun bagiku, justru di situlah menariknya Film Perang Kota. Berani mengambil jalur yang jarang dilalui film-film sejarah Indonesia. Dengan durasi sekitar dua jam, film ini membawa kita merenung lebih dalam tentang makna kemerdekaan sejati, yang nggak cuma bebas dari penjajah, tapi juga merdeka dari trauma dan ketakutan diri sendiri.

Film Perang Kota pantas diapresiasi karena keberaniannya dalam membongkar formula lama dan membangun lanskap baru dalam genre drama sejarah kita. Ibaratnya, film ini nggak hanya menceritakan masa lalu, tapi juga mengajak menelusuri lorong-lorong batin manusia yang penuh luka tapi ingin sembuh.

Tontonlah, Sobat Yoursay. Ini film keren!

Skor: 4/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak