Ulasan Film Perang Kota: Drama Sejarah yang Bikin Hati Bergetar

Ayu Nabila | Ryan Farizzal
Ulasan Film Perang Kota: Drama Sejarah yang Bikin Hati Bergetar
poster film Perang Kota (IMDb)

Ketika lampu bioskop redup dan Perang Kota mulai diputar, rasanya seperti melompat ke mesin waktu menuju Jakarta tahun 1946. Film terbaru karya Mouly Surya ini, yang diadaptasi dari novel klasik Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, bukan sekadar film sejarah biasa.

Ini adalah perpaduan epik antara drama, romansa, aksi, dan konflik batin yang bikin penonton terpaku. Dengan durasi sekitar dua jam, Perang Kota berhasil menghidupkan kembali gejolak pasca-kemerdekaan Indonesia dengan cara yang nggak cuma megah, tapi juga intim dan manusiawi. Yuk, simak ulasan ini dan apa yang bikin film ini spesial!

Perang Kota membawa kita ke Jakarta yang kacau-balau setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan. Di tengah asap bangunan yang dibakar dan ketegangan melawan penjajah Belanda, kita bertemu Isa (Chicco Jerikho), seorang mantan pejuang kemerdekaan yang kini jadi guru SD dan pemain biola.

Di usia 35 tahun, Isa bukan cuma berjuang melawan musuh di luar, tapi juga luka batinnya sendiri. Trauma perang membuatnya mengalami impotensi, yang perlahan menggerogoti pernikahannya dengan Fatimah (Ariel Tatum).

Di sisi lain, ada Hazil (Jerome Kurnia), murid biola Isa yang tampan dan penuh semangat, yang diam-diam mendekati Fatimah. Plot makin panas ketika Isa mendapat misi rahasia untuk membunuh petinggi kolonial Belanda, sementara cinta segitiga dan pengkhianatan mengintai di belakangnya.

Ulasan Film Perang Kota

salah satu adegan di film Perang Kota (IMDb)
salah satu adegan di film Perang Kota (IMDb)

Mouly Surya nggak cuma menyuguhkan aksi tembak-menembak atau ledakan (meski adegan pembuka dan penutupnya beneran intens sih!). Film ini lebih fokus ke "perang" dalam hati para karakternya.

Konflik batin Isa, yang merasa gagal sebagai suami dan pejuang, digambarkan dengan sangat subtil tapi mengena. Fatimah, yang awalnya tampak sebagai istri pendiam, perlahan menunjukkan kekuatan dan kerapuhannya.

Hazil, dengan pesonanya, membawa dinamika yang bikin aku sebagai penonton bingung: medukung dia atau kesal sendiri sama ulahnya? Cerita cinta segitiga ini nggak lebay, tapi cukup bikin hati perih, apalagi dengan latar perjuangan kemerdekaan yang penuh pengorbanan.

Salah satu kekuatan Perang Kota adalah visualnya yang artistik banget. Mouly memilih rasio layar 4:3, yang bikin film ini terasa klasik sekaligus intim, seperti kita sedang mengintip kehidupan para karakter dari dekat. Pencahayaan redup dengan warna-warna bumi, plus set art direction yang detail, bikin Jakarta 1946 terasa hidup.

Kamu bisa merasakan debu jalanan, bau asap, dan ketegangan di udara. Sinematografi karya Roy Lolang patut diacungi jempol karena setiap frame terasa seperti lukisan yang bercerita.

Nggak cuma visual, audio di film ini juga juara. Teknologi Dolby Atmos bikin suara tembak-menembak dan ledakan terasa nyata, seolah-olah kita ada di tengah medan perang. Penata suara Vincent Villa berhasil bikin dialog teatrikal dalam bahasa Indonesia baku terdengar jernih, meski kadang campur aduk dengan istilah Belanda atau daerah. Oh iya, takarir (subtitle) juga membantu banget buat yang mungkin bingung sama dialog yang agak puitis.

Trio pemeran utama—Chicco Jerikho, Ariel Tatum, dan Jerome Kurnia—adalah nyawa film ini. Chicco memerankan Isa dengan intensitas yang bikin kita ikut merasakan beban di pundaknya. Ekspresinya saat berhadapan dengan trauma dan pengkhianatan? Sumpah! Ngena banget.

Ariel Tatum, sebagai Fatimah, membawa lapisan emosi yang dalam; dia nggak cuma istri yang menderita, tapi juga perempuan yang punya tekad kuat.

Jerome Kurnia sebagai Hazil sukses bikin aku bercampur aduk antara kagum sama karismanya dan geregetan sama tingkahnya. Chemistry mereka bertiga bikin konflik cinta segitiga terasa nyata dan nggak dibuat-buat.

Banyak film sejarah Indonesia yang fokus ke heroiknya perjuangan, tapi Perang Kota berani ambil jalur lain. Mouly Surya nggak cuma menceritakan perang melawan penjajah, tapi juga perang batin, ideologi, dan bahkan bahasa.

Film ini menunjukkan bagaimana Bahasa Indonesia jadi alat perjuangan melawan warisan kolonialisme, meski kadang masih tercampur kata-kata Belanda.

Pendekatan ini bikin film terasa segar dan relevan, apalagi untuk generasi muda yang mungkin nggak terlalu connect sama narasi sejarah konvensional.

Tapi, film ini nggak sempurna. Buat sebagian penonton, alur yang kontemplatif dan dialog teatrikal mungkin terasa agak berat, apalagi kalau kamu mengharapkan aksi non-stop. Beberapa momen juga terasa lambat, mungkin karena Mouly ingin kita benar-benar meresapi emosi karakternya.

Buat yang sudah baca novel Jalan Tak Ada Ujung, jangan terlalu berekspektasi plot yang 100% sama, karena film ini lebih ke adaptasi bebas dengan sentuhan modern.

Perang Kota adalah bukti bahwa film sejarah Indonesia bisa tampil beda—nggak cuma soal pahlawan yang gagah berani, tapi juga manusia biasa dengan luka dan mimpinya.

Mouly Surya, dengan gaya arthouse-nya yang khas, berhasil menciptakan karya yang nggak cuma informatif, tapi juga menggugah emosi.

Visual yang memukau, akting yang solid, dan narasi yang dalam bikin film ini layak disebut sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun ini.

Buat kamu yang suka drama sejarah dengan bumbu romansa dan ketegangan, Perang Kota wajib masuk watchlist. Siapkan tisu, karena film ini bakal bikin hati dan pikiranmu bergejolak! Untuk rating aku beri: 8.5/10.

Film ini punya rating 17+ karena ada tema dewasa dan adegan kekerasan, jadi pastikan kamu siap mental ya sebelum nonton!

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak