Malam kemarin, aku dan teman-teman memutuskan untuk menonton Pembantaian Dukun Santet di bioskop XXI bertempat di salah satu mall di Surabaya.
Film horor Indonesia ini udah bikin heboh sejak trailer pertamanya rilis, apalagi karena diangkat dari kisah nyata pembantaian dukun santet di Banyuwangi tahun 1998 dan thread viral @jeropoint di X.
Dengan ekspektasi tinggi, tiket di tangan, dan popcorn pun sudah siap, kami masuk studio ketika lampu mulai redup. Penasaran banget, bakal seseram apa sih film ini?
Begitu film dimulai, suasana bioskop langsung hening. Layar menampilkan latar Banyuwangi era 1990-an, dengan visual desa dan pesantren yang bikin nostalgia sekaligus creepy.
Tata suara film ini juara banget—dari derit kayu, angin malam, sampai suara gamelan yang tiba-tiba muncul, bikin bulu kuduk merinding. Ceritanya berfokus pada Satrio (Kevin Ardilova), santri muda yang hidup di pesantren yang damai, sampai tiba-tiba teror mengerikan datang.
Sekelompok orang bertopeng ninja mulai membantai orang-orang yang dituduh dukun santet, termasuk guru-guru pesantren. Adegan pembantaiannya sadis banget! Darah berceceran, kepala ditebas, bikin penonton di sebelahku sudah mulai nutup mata nih.
Jumpscare di menit-menit awal lumayan efektif. Ada momen pocong muncul tiba-tiba di lorong pesantren, dan hantu perempuan dengan wajah pucat yang bikin aku kaget sampai-sampai popcorn di tanganku hampir tumpah.
Timing-nya menurutku pas, nggak lebay, tapi cukup bikin jantungan. Visual hantunya juga oke, nggak murahan, apalagi ditambah efek suara yang bikin suasana makin mencekam. Pichouse Films dan MD Pictures memang jagonya bikin horor yang agresif secara visual sih, dan di sini mereka kelihatan all-out.
Ulasan Film Pembantaian Dukun Santet

Kevin Ardilova sebagai Satrio memainkan karakter yang solid. Ekspresi ketakutannya natural, bikin kita ikut merasakan paniknya dia saat mencoba kabur dari teror.
Aurora Ribero, yang memerankan Annisa, juga jadi salah satu titik terang. Penghayatannya kuat, apalagi di adegan emosional ketika dia berhasil mengungkap rahasia kelam keluarganya.
Aktor pendukung seperti Ariyo Wahab (Ustaz Bagas) dan Teuku Rifnu Wikana (Ustaz Ridwan) juga nggak kalah oke kok. Mereka bikin karakter ustaz-ustaz ini terasa hidup, apalagi Ariyo yang katanya sampai belajar membaca Al-Qur’an untuk mendalami peran.
Tapi, sayangnya, beberapa karakter lain terasa kurang greget. Banyak tokoh yang muncul cuma untuk jadi korban tanpa membuat aku peduli dengan nasib mereka.
Misalnya, beberapa santri dan warga desa yang mati dibantai, tapi aku sebagai penton tak diberi latar belakang mereka sama sekali. Jadi ketika mereka tewas, rasanya seperti, “Oh, oke, next.” Ini salah satu kelemahan filmnya—kurang bikin penonton terhubung emosional sama karakternya.
Ceritanya sendiri sebenarnya punya potensi gede ya. Isu fitnah dukun santet, konflik sosial, dan trauma sejarah Banyuwangi 1998 bisa jadi bahan yang dalam banget. Tapi sayang, eksekusinya agak buru-buru.
Film berdurasi 92 menit ini berjalan dengan tempo cepat, tapi malah bikin alur terasa dangkal. Banyak pertanyaan yang tak terjawab, seperti kenapa fitnah dukun santet ini bisa menyebar begitu cepat, atau apa motif sebenarnya di balik pembantaian.
Plot twist tentang dalang teror dan dendam dukun santet juga sudah bisa ditebak dari pertengahan film, jadi ketika ending terungkap, aku cuma, “Oh, gitu doang?”
Judul Pembantaian Dukun Santet juga agak misleading. Aku kira film ini bakal fokus ke perburuan dukun santet yang menyebabkan teror, tapi ternyata lebih banyak tentang fitnah yang membuat orang-orang tak bersalah jadi korban.
Ini membuat premisnya kurang nyambung dengan judul, dan narasinya jadi kurang fokus. Ketimbang mengulik sisi sejarah atau konflik sosialnya, film ini lebih sibuk mengejar teror visual, ya seperti jumpscare dan adegan gore yang sadis.
Keluar dari bioskop, aku dan teman-teman langsung heboh buat diskusi. Secara keseluruhan, Pembantaian Dukun Santet sukses membuat kami deg-degan dan merinding, terutama di babak pertama.
Atmosfer horornya kuat, aktingnya oke, dan produksinya kelihatan serius. Tapi, ceritanya terasa kurang nendang. Dengan tema seberat ini, filmnya bisa lebih dalam kalau nggak terlalu buru-buru dan memberi ruang untuk karakternya berkembang. Menurutku horornya sih oke, tapi ceritanya “nanggung” dan logikanya agak dipaksakan.
Aku beri Pembantaian Dukun Santet rating 6/10. Buat kalian yang suka horor lokal dengan jumpscare dan visual sadis, film ini layak banget ditonton di bioskop, apalagi kalau rame-rame sama teman. Tapi kalau kalian mengharapkan cerita yang dalam atau plot twist yang bikin kaget, mungkin bakal agak kecewa ya.
Sebenarnya, film ini punya potensi besar, tapi sayangnya nggak dieksplor maksimal. Tetap salut buat tim produksi yang berani angkat isu sejarah kelam jadi horor, dan semoga ke depannya bisa lebih rapi lagi!
Jadi, kalian tertarik nonton? Atau sudah nonton dan punya pendapat lain nih?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS