Ulasan Buku Biar Saja Mereka Tidak Menyukaiku: Berani Menjadi Diri Sendiri

Ayu Nabila | aisyah khurin
Ulasan Buku Biar Saja Mereka Tidak Menyukaiku: Berani Menjadi Diri Sendiri
Buku Biar Saja Mereka Tidak Menyukaiku (gramedia.com)

"Biar Saja Mereka Tidak Menyukaiku" adalah buku kontemporer yang menggugah, ditulis oleh Aba Mehmed Agha, yang menghadirkan suara hati individu yang terpinggirkan, berusaha menegakkan jati diri di tengah ekspektasi sosial yang menyesakkan. Novel ini bukan sekadar kisah tentang keberanian menjadi diri sendiri, melainkan juga refleksi tajam terhadap norma dan penilaian masyarakat.

Novel ini mengisahkan seorang tokoh yang tidak disebutkan namanya secara eksplisit, yang membuat narasi terasa sangat personal dan universal sekaligus. Ia adalah seorang individu yang sejak kecil merasa berbeda, dan sepanjang hidupnya terus-menerus dihadapkan pada penolakan, penghakiman, dan kesepian. Narasi menggunakan sudut pandang orang pertama, memperkuat kedekatan emosional dengan pembaca.

Tema utama dalam buku ini adalah perjuangan menerima diri sendiri dalam dunia yang sering kali tidak ramah terhadap perbedaan. Tokoh utama berulang kali mempertanyakan, apakah salah menjadi diri sendiri? Apakah harus menjadi seperti yang orang lain inginkan agar bisa diterima? Pertanyaan ini menjadi benang merah dari keseluruhan narasi.

Aba Mehmed Agha berhasil menggambarkan proses batin yang mendalam. Buku ini tidak hanya berbicara soal konflik eksternal antara tokoh dengan masyarakat, tetapi juga konflik internal, rasa malu, keinginan untuk diakui, rasa lelah menghadapi kebencian, hingga akhirnya mencapai titik puncak, “biar saja mereka tidak menyukaiku.”

Novel ini dipenuhi dengan emosi yang autentik seperti, kesedihan, kemarahan, kebingungan, dan harapan. Tidak ada dramatisasi berlebihan. Justru karena ditulis dengan jujur dan tanpa polesan, isi buku ini terasa sangat mengena. Pembaca bisa merasakan beratnya menjadi seseorang yang terus-menerus dianggap “tidak cukup” hanya karena berbeda.

Melalui cerita, penulis menyampaikan kritik sosial yang tajam terhadap budaya yang menuntut keseragaman dan menekan ekspresi individual. Lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, bahkan dunia maya, semuanya menjadi arena penghakiman. Penulis menggambarkan bagaimana tekanan ini bisa melumpuhkan mental seseorang.

Gaya penulisan Agha cenderung liris dan puitis, meskipun tidak kehilangan kejelasan naratif. Banyak kutipan dalam novel ini yang sangat quotable karena kekuatannya dalam menyampaikan luka dengan kata-kata sederhana namun dalam. Beberapa bab terasa seperti catatan harian yang emosional, yang bisa menggerakkan hati pembaca.

Struktur novel ini tidak linier secara ketat. Ia bergerak maju-mundur, mencerminkan bagaimana ingatan dan trauma bekerja dalam kehidupan seseorang. Alur ini menciptakan nuansa yang reflektif, di mana momen-momen kecil memiliki dampak besar terhadap perkembangan karakter utama.

Interaksi tokoh utama dengan karakter lain seperti, keluarga, teman, dan orang asing, menjadi bagian penting dalam membentuk narasi. Banyak dari mereka hadir bukan untuk membantu, tetapi justru memperkuat perasaan keterasingan. Namun ada pula beberapa tokoh minor yang menjadi cahaya harapan dan memperlihatkan bahwa empati masih mungkin ditemukan.

Penulis menggunakan simbolisme halus dalam berbagai bentuk, dari benda-benda sehari-hari hingga suasana alam untuk memperkaya makna cerita. Misalnya, hujan yang terus turun saat tokoh mengalami puncak keputusasaan, atau cermin yang menjadi metafora untuk pandangan diri yang retak.

Salah satu kekuatan utama buku ini adalah transformasi batin yang dialami tokoh utama. Ia tidak berubah menjadi sosok yang "sempurna", tetapi ia belajar menerima kekurangannya dan berhenti mencari validasi dari orang yang tak pernah berniat memberikannya. Transformasi ini disampaikan secara bertahap dan sangat realistis.

Novel ini sangat relevan dengan kehidupan banyak orang saat ini, terutama generasi muda yang hidup di era media sosial. Di tengah tekanan untuk tampil ideal dan disukai banyak orang, "Biar Saja Mereka Tidak Menyukaiku" justru menjadi manifesto penting tentang keberanian untuk berkata cukup.

Buku ini mampu mengguncang dan menyembuhkan sekaligus. Ia membuka luka, tetapi juga menawarkan pengertian dan harapan. Banyak pembaca akan merasa seolah-olah penulis sedang menuliskan isi hati mereka sendiri, terutama mereka yang pernah merasa tidak cukup baik untuk dunia ini.

Judul novel bukan sekadar pernyataan defensif, melainkan afirmasi kekuatan. Pesannya jelas, kita tidak harus menyenangkan semua orang, karena kebebasan sejati datang dari menerima diri sendiri. Dalam dunia yang terlalu cepat menilai dan terlalu lambat mengerti, keberanian untuk berkata "biar saja mereka tidak menyukaiku" adalah bentuk kekuatan.

Secara keseluruhan, "Biar Saja Mereka Tidak Menyukaiku" adalah buku yang dalam, menyentuh, dan penuh makna. Aba Mehmed Agha berhasil menyuarakan kegelisahan yang jarang diungkapkan dengan sejujurnya. Buku ini sangat direkomendasikan bagi pembaca yang sedang mencari penghiburan, penguatan diri, dan pengertian dalam menghadapi kerasnya dunia.

Identitas Buku

Judul: Biar Saja Mereka Tidak Menyukaiku

Penulis: Aba Mehmed Agha

Penerbit: Checklist

Tanggal Terbit: 27 Maret 2025

Tebal: 180 Halaman

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI SINI

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak