Di balik aroma manis dorayaki dan suasana kedai kecil yang sederhana, Pasta Kacang Merah karya Durian Sukegawa terjemahan penerbit Gramedia Pustaka Utama menyimpan kisah yang mendalam. Dalam 240 halaman, novel ini mengulas luka sejarah, stigma sosial, dan martabat manusia.
Sentuhan pada hati yang membuat jiwa pembaca terenyuh bukan karena drama yang dilebih-lebihkan, melainkan karena keberanian Durian Sukegawa dalam mengangkat realitas menyakitkan para penyintas penyakit lepra (atau disebut sebagai penyakit hansen di Jepang) yang selama puluhan tahun hidup dalam keterasingan.
Cerita berpusat pada Sentaro, seorang pria dengan masa lalu kelam yang kini mengelola salah satu cabang kedai dorayaki sebagai salah satu keping penebusan diri.
Hari itu, Tokue datang ke kedai dorayaki. Tokue adalah perempuan lanjut usia dengan tangan yang tampak cacat, tetapi dia menawarkan diri untuk bekerja di kedai dorayaki.
Mulanya, Sentaro ragu, bahkan beberapa kali menolak. Namun, ternyata kemampuan memasak Tokue sangatlah luar biasa. Tokue memperlakukan kacang merah yang diolahnya sebagai pasta bagaikan anak sendiri.
Tidak hanya Tokue, ada juga Wakana, seorang siswi peralihan SMP ke SMA yang kerap kali mampir ke kedai. Kehadiran Wakana membuat kisah ini semakin lengkap, semacam potret keluarga lintas generasi yang dekat dan tumbuh secara perlahan nan alami.
Akan tetapi, kehangatan itu hilang saat bos pemilik kedai dorayaki marah besar karena Sentaro seenaknya mempekerjakan Tokue. Ini bukan masalah umur, melainkan kondisi Tokue yang menyeramkan. Bos pemilik kedai dorayaki tidak ingin pelanggan setianya kabur semua ketika melihat Tokue.
Singkat cerita, terungkaplah bahwa Tokue memang benar seorang penyintas penyakit lepra. Mulanya, Tokue menepis dugaan itu. Namun, seiring berjalan waktu dia merasa bisa terbuka kepada Sentaro.
Di masa lalu, Jepang menerapkan sistem karantina ketat terhadap penderita lepra. Mereka dikirim ke sanatorium, wilayah tertutup yang secara sosial dan hukum dipisahkan dari masyarakat luas.
Di sanatorium, para pasien tidak hanya dirampas hak-haknya, tetapi juga dilupakan. Tidak ada pemadam kebakaran jika terjadi kebakaran, tidak ada polisi jika terjadi kejahatan, bahkan mereka harus membuat sistem mata uang sendiri karena dianggap bukan bagian dari dunia.
Kisah masa lalu Tokue menjadi pintu masuk bagi pembaca untuk memahami bagaimana sistem kesehatan di masa lalu bisa (pernah) menihilkan kemanusiaan. Tokue dipisahkan dari keluarganya, dihapus dari kartu keluarga, dan tidak pernah diizinkan kembali ke masyarakat.
Salah satu bagian yang paling menyentuh hati dalam novel Pasta Kacang Merah adalah saat Tokue bercerita terkait blus rajutan pemberian ibunya yang diambil paksa dan tidak pernah dikembalikan. Benda kecil itu menjadi simbol besar atas kehilangan identitas, kasih, dan kehidupan. Semuanya dirampas karena Tokue menderita penyakit lepra.
Meskipun begitu, novel ini bukan sekadar kisah yang memoles penderitaan saja. Dari luka-luka yang tertoreh itu tumbuh kasih sayang yang tulus.
Tokue tidak pernah hadir menjadi tokoh yang mengasihani dirinya sendiri. Dia selalu menjadi tokoh yang bijak, lembut, dan penuh perhatian.
Tidak hanya menunjukkan keahlian memasak, Tokue juga muncul sebagai sebuah pelajaran, secara implisit berbagi bagaimana caranya mendengarkan, merasakan, dan memanusiakan.
Selama plot berjalan pun Sentaro mengalami perkembangan karakter yang signifikan. Dia bukan protagonis yang ideal, tetapi kini dia membuka dirinya berkat kehadiran Tokue dan Wakana.
Dari interaksi ketiganya, kita bisa melihat bagaimana orang yang nyaris tidak punya apa-apa, justru bisa memberi yang paling berarti.
Dengan gaya bahasa yang sederhana nan puitis, Durian Sukegawa meracik kisah ini layaknya pasta kacang merah buatan Tokue. Novel Pasta Kacang Merah juga menjadi pengingat bahwa kisah-kisah orang terpinggirkan layak untuk diceritakan, didengarkan, dan diingat.